"Tolong jangan bilang seperti itu, Tante." Wajah Brahma memerah. Ucapan Tante Mira barusan begitu melukai hatinya. "Aku rela menyerahkan seumur hidupku buat Tante, karena aku tahu itu pun belum cukup untuk membalas semua yang Tante lakukan. Tante ngasih aku rumah saat aku nggak punya rumah, Tante ngasih aku keluarga, pendidikan, pekerjaan, semuanya!" Bibir executive chef itu bergetar, menahan deburan emosi yang datang bergulung-gulung.
"Tante bisa lihat sendiri apa yang sudah kulakukan. Aku tolak tawaran restoran-restoran besar di Perancis, Turki, Singapore. Aku tolak kepopuleran menjadi juri acara masak televisi itu, Tante kira karena apa? Karena Tante! Karena segala respek dan impianku buat bikin Tante bahagia ... dan tidak menyesal sudah merawat seorang Brahma." Perkataan Brahma tercekat. Setelah ibunya meninggal, dia tidak pernah lagi meneteskan air mata. Namun, senja kali ini sepertinya akan berbeda.
"Aku tahu diri aku ini siapa. Tapi, apa aku juga nggak berhak memiliki cinta, Tante?" Dia mendongakkan kepala, mengembus napas kasar. "Tante memintaku buat ngelakuin ini, lagi? Mengalah?" Tawa getir Brahma lepas di antara riuh semilir angin. Cowok itu berdiri, menyedekapkan tangan, menatap lurus Tante Mira yang tampak gusar.
"Kamu belum bisa melupakan hal itu?" Sang tante membuka mulutnya. Brahma kembali tertawa. Lebih keras, tapi hampa.
"Lupa?" Chef handal itu mendesah lirih. "Mungkin hati memang diciptakan untuk jadi pemurah, Tante, supaya kita bisa memaafkan. Tapi pikiran? Diciptakan untuk jadi tajam, bukan amnesia. Gimana aku bisa lupa?" Brahma meninggikan suaranya, membuat Tante Mira tersentak. Keponakannya tidak pernah bersikap seperti itu selama ini.
Tante Mira ikut berdiri menyejajari tubuh jangkung Brahma. Direngkuhnya pundak keponakan satu-satunya, didudukkannya kembali. Mengelus lengan sang keponakan, kelopak mata Tante Mira mulai memanas. Dia menelan ludah susah payah, tak menyangka pembicaraan sore ini akan jadi runyam begini.
"Kamu anak baik, Brahma, kamu tentu berhak memiliki cinta. Please, dengan siapa saja. Tante minta maaf atas peristiwa silam yang membuatmu hancur itu. Ka-kamu, bisa ambil apa pun milik Tante, apa yang kamu mau. Tapi tolong, biarkan Shalu sama Evans."
Brahma sontak menoleh mendengar kalimat tantenya barusan. "Tante menukar Shalu dengan uang?" sindirnya tajam. "Nggak semua hal bisa Tante beli dengan uang!"
Tante Mira melepas belaiannya dari lengan Brahma. "Apa yang kamu mau kalau begitu?" Suaranya kembali terdengar tegas.
Hening. Menyisakan suara lantunan merdu qori' dari speaker masjid yang membelah angkasa. Burung-burung terlihat terbang bergerombol melewati awan-awan lembut, pulang ke sarangnya.
"Aku cuma mau Shalu bahagia. Tante bisa memintaku buat ngelakuin ini lagi, membunuh cintaku buat Shalu, biar Tante tahu aku rela ngorbanin semuanya sebagai balas budiku ke Tante. Asal satu, Tante!" Pandangan Brahma mulai kabur. Air mata sudah menggenang di pelupuknya. "Tante harus jamin Evans benar-benar sudah berubah. Tante harus janji juga kalau Evans ... nggak akan sekalipun menyakiti Shalu!" Nada suara Brahma terdengar lemah. Apakah dia baru saja mengakui kekalahannya? Mundur dari perjuangannya?
Tante Mira mengangguk mantap. "Kita sepakat!"
*
A message from Shalu.
Gw udah di parkiran hotel. Turun gih jemput tuan putri 😋
Brahma is typing ...
[What? Mau ngapain]
Gw boring di rumah, mw liat the great executive chef kerja di dapurnya yg kinclong dong 😞
[Jam kerja gw msh lama, Shal. 2 jaman]
Gw tungguin. Anggap aja bgian dr kursus
[Lo bakal tmbah boring. Mnding ke rmh Tante dlu, tungguin di sana]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
ChickLit[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...