[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans.
Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...
Gimana mau ok kalau ada orang yg bilang carpaccio buatan lo rasanya paling buruk sedunia. Yg bilang camer sendiri lg! 😭
Typing ...
Evans lg, gw curhatin malah ngakak puas bgt. Njir gak sih, gak tahu sakit hatinya gw kek gmna!
[Gw ngerti prasaan lo. Gw pernah dikomentarin lbh parah dr lo. Jgn dimasukin hati ya. Itu cm sisi lain Tante Mira yg hrs lo ngertiin ☺]
Udah males gw!
[Come on, ntar sore kita bakal bikin gelato lho. Maybe lo emg bakat di dessert. Kmrin Tante suka sama pannacotta lo, lo hrs inget itu]
Mood gw jelek bgt, Brahma. Yg ada ntar gw malah marah2 sma lo kek biasa. Skip dlu aja lah gelatonya
[Hmm, gw kan udah biasa lo marah2in. Gw janji gelato kali ini bakal jd gelato paling enak yg pernah lo makan 😃]
Kok bisa gitu?
[Bisa dong. Gpp gw ngelanggar aturan Tante Mira. Gw bakal bantuin lo ntar]
Yeay! Ok, ini kbr baik pertama hari ini stlah semaleman gw nangis 😇
[Dasar bayi 😑]
Bodo amat 😛
Brahma is typing ...
"Chef!" Tepukan pelan di bahu menghentikan ketikan Brahma. Setengah terkejut, dia berbalik menghadap orang yang menepuknya dari belakang.
"Yang lain udah pada nunggu. Lunch time. Gue buatin pasta kesukaan lo." Cewek pemilik rambut cokelat berombak itu mengerling ke arah meja panjang tempat para penghuni dapur biasa menghabiskan waktu untuk makan siang bersama.
Oh, tentu cuma Brahma yang belum siap di kursinya. Semua sudah menunggu dan tidak ada yang berani mendahului sebelum sang chef memulai. Hanya kru dapur yang bertugas sift siang yang masih berlalu lalang mengantar dan mengolah pesanan tamu.
"Duluan aja nggak apa-apa, Ken. Gue masih ada urusan bentar." Mata Brahma kembali tertuju ke ponselnya.
Shalu. Last seen at 13.45.
Brahma menghela napas pendek. Ada kekecewaan tersirat dari matanya. Jelas aja, siapa gue sampai Shalu harus online demi nunggu balasan chat dari gue.
Cewek cantik yang sehari-hari berkutat di dapur bersamanya itu belum juga pergi. Sekarang dia sudah bersedekap, mengulang perintah pada atasannya untuk segera makan.
"Chef! Lunch-time!" Dia memberi penekanan tegas dalam ucapannya agar Brahma tak bisa mengelak lagi.
"Gue perhatiin akhir-akhir ini lo sering nggak konsen, Chef. Sering melamun, sering kebablasan manggang daging, kurang ngasih gula, garnish berantakan. What's your problem actually?" Masih melipat kedua tangannya, cewek itu mau tak mau membuat Brahma mengarahkan pandangan untuk menatap wajahnya yang jelita.
"Nothing," ucap Brahma santai sambil berlalu ke meja makan, menarik kursinya, dan menempatkan diri dengan mantap. "Sorry bikin kalian nunggu. Harusnya kalian mulai duluan aja."
Denting sendok dan piring yang beradu segera menyelusup gendang telinga Brahma saat dia mengakhiri permintaan maafnya. Cewek tadi kembali mendekat, sekarang membawa sebuah piring lebar berisi pasta yang dari aromanya saja sudah membuat perut Brahma tersiksa. Memang tidak ada yang bisa menandingi pasta buatan Niken, asisten chef blasteran Turki-Indo yang selalu dijodoh-jodohkan Tante Mira dengannya ini.
"Thanks," ujar Brahma, menerima uluran piring dari Niken.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera menyendok pastanya dengan lahap. Rasa gurih, pedas, dan tekstur yang sangat pas pecah di mulut Brahma. Cowok jangkung dengan bodi tidak kurus tidak pula macho itu memejamkan matanya sambil terus mengunyah. Ini cara khasnya untuk menikmati makanan. Kalau Brahma sudah begini, berarti apa yang menyentuh lidahnya itu bernilai sempurna. Niken tersenyum manis. Dia selalu suka mengamati wajah ganteng Brahma saat matanya memejam begitu. Apalagi yang menjadi penyebab adalah hasil olahan tangannya sendiri.
Semua yang bekerja di hotel dan resto ini tahu, Niken tidak pernah mengincar posisi panas Brahma untuk menjadi executive chef, meski dirinya cukup berpotensi. Yang dia incar adalah posisi di hati Brahma agar cowok itu bisa luluh terhadapnya. Sayang, pertanda yang telah lama diharapkan tak kunjung ditunjukkan oleh Brahma. Sang chef tampaknya belum mau membuka hati.
"Gue cabut habis ini, titip dapur. Weekend." Brahma mengajak bicara Niken setelah kembali menapak di bumi. Asisten chef itu memang selalu duduk di sampingnya saat makan siang.
Niken urung menyuap pastanya, malah beralih menatap Brahma lekat-lekat. "Calon mantu Bu Mira lagi? Serius lo bakal jadi guru masaknya sampai tiga bulan?" selidiknya.
Brahma menganggukkan kepala. "Yep!"
Kedua mata Niken menyipit, pandangannya kosong. Dia sedang menimbang-nimbang dan memperhitungkan sesuatu. Ah, iya. Brahma mulai sering melamun sejak jadi guru masak calon mantu Bu Mira itu, batinnya. Jangan-jangan .... Prasangka yang baru saja terlintas dienyahkannya jauh-jauh. Nggak boleh! Dalam kamusnya tidak boleh ada yang memiliki Brahma selain dia.
"Oke, gue cabut. Gue harus belanja bahan-bahan dulu." Brahma mengakhiri makan siangnya, menyisakan piring kosong. "Semuanya, gue tinggal, ya! Kalau ada apa-apa bilang sama Niken." Dia melangkahkan kaki meninggalkan meja makan menuju ruangannya. Sebagai executive chef dia memang punya ruangan pribadi.
Beberapa menit kemudian cowok itu keluar lagi, lengkap dengan jaket kulit yang membalut tubuhnya juga tas ransel yang disampirkan di pundak. Termangu-mangu, Niken memperhatikan chef kesayangannya sampai punggung Brahma hilang dari pandangan.
*
Wajah Shalu terlihat semakin bulat karena kedua matanya yang sembap. Brahma sampai-sampai tidak bisa menahan diri untuk tertawa.
"Mata lo udah kaya disengat tawon, Shal!" Ledeknya habis-habisan, membuat gadis itu mengerucutkan bibir berkali-kali.
"Ini gara-gara lo, tahu!" Shalu mendaratkan satu cubitan mautnya di lengan Brahma sampai cowok itu mengaduh keras sekali. "Lo kemarin nggak bantuin gue!" omelnya.
"Udah, ah! Nggak asik becanda sama lo, mainnya nyubit-nyubit. Sakit tahu!" Brahma memasang tampang murka sambil mengusap-usap lengannya yang memerah.
Di luar sana, gerimis yang turun satu-satu membasahi rerumputan menjadi saksi betapa hati Brahma tengah berbunga-bunga. Andai ada resep untuk membuat waktu terhenti, tentu dia rela menukarnya dengan apa pun agar bisa menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi.