Bab 1: Shopaholic | 2

13.7K 1K 41
                                    

Salah satu hal yang tidak disukai Shalu adalah panggilan Mama terhadapnya. Bayangkan saja, sampai umurnya menginjak seperempat abad begini, Mama masih memanggilnya Dek layaknya dia bocah yang baru belajar jalan.

Panggilan sang mama itu sukses membuatnya diledek habis-habisan oleh teman-temannya yang kebetulan mendengar. Dek juga mengandung makna implisit seolah Shalu adalah gadis manja yang apa-apa masih disokong orangtua.

Padahal tidak begitu faktanya. Secara finansial, Shalu sudah bisa dikatakan mandiri. Pekerjaannya di Dinas Peternakan Kota Bogor sebagai seorang dokter hewan, memberinya gaji yang lebih dari cukup untuk sekadar tampil glowing. Belum lagi bisnis sampingannya, Kitty Clinic and Shop, sukses menghadirkan kepuasan batin yang membuat hidupnya seimbang. Bahagia. Rasanya seperti Shalu memang diciptakan untuk itu.

Dari hidupnya yang seolah sempurna, tentu saja ada sedikit celah kekurangan - setidaknya begitu kata Mama.

"Kamu udah dua lima, Dek, kok belum ada cowok yang datang ke rumah, minta restu Mama buat jadiin kamu istrinya, gitu?"

Yeah, another quarter life crisis! Shalu memang belum tertarik untuk menikah. Dia merasa sedang berada di fase kehidupan yang segalanya serba pas, yang ingin dinikmatinya sendiri saja.

Kehadiran cowok cuma bakal nambah beban pikiran, kan? Bisik hati kecilnya. Selain itu, menurutnya perkara jodoh adalah hal yang sudah ditakdirkan Tuhan dan tidak perlu dipusingkan. Beberapa rekan kerja cowok yang terang-terangan mendekatinya, Shalu tampik dengan tegas. Ogah!

Sayang, Mama tidak beranggapan demikian. Jodoh itu dicari! katanya. Kalau sudah begitu, orasi Mama akan melebar ke mana-mana.

"Sudah Mama bilang, kan, jangan jadi dokter hewan. Gimana kamu mau ketemu jodohmu kalau setiap hari ketemunya sama sapi!" keluh sang mama.

Shalu tidak pernah menanggapi omelan Mama dengan serius. Dia tahu betul Mama memang tidak menyukai pekerjaannya, termasuk sebagian besar kerabat Shalu. Di mata mereka, veterinarians memang bukan pekerjaan yang cukup prestisius.

Dokter hewan? Nggak keterima di fakultas kedokteran umum, ya? Cibiran yang membuat kupingnya panas itu sering sekali Shalu dengar. Memangnya dipikir jadi dokter hewan segampang ngomentarin hidup orang apa! Batinnya jengkel.

Tidak tahu saja mereka betapa bahagianya Shalu saat berhasil menyembuhkan seekor sapi yang terinfeksi Anthrax, atau sekadar mengobati kucing yang jalannya pincang. Passion itulah yang tidak dimengerti orang lain, termasuk mamanya.

***
Suasana resto Japanese itu begitu menyejukkan. Suhu AC yang pas, aroma segar asiri yang menguar di dalam ruangan, dan desain interior yang dibuat se-Jepang mungkin sukses mengenyahkan kekesalan Shalu selama tiga jam terakhir.

Akhirnya bisa selonjoran, gumamnya lega.

Pertemuan tak disengaja antar dua orang wanita yang bersahabat sejak lama plus lama tak jumpa, tentu saja akan berbuntut panjang. Tante Mira mengajak mereka makan siang, dan setelah satu jam berada di restoran ini, obrolan keduanya belum kelihatan akan berakhir.

Shalu mulai bosan. Dari tadi dia hanya sedikit-sedikit nimbrung dan menjawab sekadarnya saat Tante Mira bertanya. Ya, termasuk soal kerjaannya yang ditanggapi Tante dengan mimik muka heran.

"Kenapa dokter hewan?" Begitu tanyanya. Shalu cuma tersenyum manis dan memilih untuk mencomot sushi yang menggoda lidah.

Tante Mira adalah mantan tetangga Shalu yang kemudian pindah ke Kalimantan karena suaminya dipindah tugaskan. Sekarang, setelah suaminya pensiun dari gelar jenderal, Tante Mira sekeluarga pindah lagi ke Bogor dan sukses menjalankan bisnis properti mereka. Saat Tante menyebut nama hotel bintang lima di Bogor dan berkata bahwa hotel tersebut adalah miliknya, Shalu hampir tersedak. Pasalnya, restoran di hotel itu adalah tempat langganan hangout Shalu bersama teman-teman kuliahnya dulu. Menunya enak dan tempatnya romantis!

Ponsel Tante Mira berbunyi saat dia dan Mama tengah asik mengomentari penampilan satu sama lain. Panggilan video call. Shalu bisa melihat siapa yang melakukan panggilan itu dari layar ponsel Tante yang terlalu terang menurutnya. Seorang cowok - mungkin seumurannya, dengan rambut acak-acakan seperti habis bangun tidur, dan oh ... dia bertelanjang dada! Shalu segera memalingkan muka, malu sendiri dengan pemandangan yang baru dilihatnya.

"Evans! Kebetulan kamu hubungi Mama. Coba lihat Mama lagi sama siapa." Kelopak mata Tante Mira melebar, menunjukkan keantusiasan. Dia lalu mengarahkan kamera depan ponselnya pada Mama yang duduk di sampingnya supaya Evans bisa melihat.

"Eh-eh, Mama apa-apaan, sih!" Evans gugup saat bertatap wajah dengan Mama Shalu, tangannya segera meraih selimut untuk menutupi dadanya yang bidang.

"Kamu masih ingat nggak, sama Tante Desi? Tetangga kita di Bogor dulu." Tante Mira kembali mengarahkan kamera ponsel pada dirinya sendiri, tertawa senang melihat anaknya kelimpungan.

Namun, sebelum Evans sempat menjawab, Tante Mira beringsut ke sebelah Shalu yang duduk di hadapannya, sehingga layar ponsel mengarah pada mereka berdua.

"Nah, ini Shalu. Anak Tante Desi yang dulu sering main sama kamu. Ingat, kan? Cantik kan, dia sekarang?"

Tante Mira merangkul pundak Shalu, membuat gadis itu kikuk dan bingung harus berbuat apa. Semuanya terlalu cepat dan tidak terprediksi. Akhirnya, Shalu hanya bisa menatap layar sambil nyengir dan berkata, "Hai, Evans."

Cowok dengan berewok tipis yang membuat Shalu menahan napas itu mengernyit. Beberapa detik setelahnya, dia tertawa. Suara bulat, bodi macho, wajah yang bisa disandingkan dengan aktor tanah air ... ew! Seperti ada yang menggelitik perut Shalu dan membuat pipinya bersemu.

"Shalu! Shalu yang dulu suka gendong-gendong komodo itu, Ma? Ya ampun, gara-gara dia jidatku sampai dijahit! Awas ya, nanti!" Mata Evans tidak beralih dari Shalu meski yang diajak ngobrol adalah mamanya.

Memori Shalu berputar sesaat, mencerna pernyataan Evans barusan. Ah, iya! Ini cowok yang dulu lari tunggang langgang sampai kesandung batu gara-gara si Komo. Mengingat kenangan itu, Shalu ikut tertawa. Sudah lama sekali memang, sampai-sampai dia tadi tidak mengenali Tante Mira.

Percakapan itu berlangsung singkat karena Evans harus segera berangkat ke kampus. Cowok itu sedang menyelesaikan studi S2 manajemen bisnisnya di London. Tak lama kemudian, reuni kecil tersebut juga selesai.

"Main ke tempatku lho, Jeng! Harus!" Tante Mira berpetuah sebelum mereka berpisah.

Sementara itu, Shalu tidak bisa fokus menyetir mobilnya sepanjang perjalanan pulang. Ada yang mengganggu pikirannya. Oh bukan, hatinya. Berewok tipis Evans?

Shit! Dia mengumpat dalam hati. Jangan-jangan benar kata Mama, ngantar belanja dapatnya jodoh?

____________________________________

Hehe, ada yang penasaran sama sosok Evans yang berewokan?

Ini dia!

Terima kasih udah mau mampir, klik bintang atau kasih krisannya, ya! Semoga besok bisa update bab selanjutnya tanpa halangan ❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih udah mau mampir, klik bintang atau kasih krisannya, ya! Semoga besok bisa update bab selanjutnya tanpa halangan ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang