Bab 5: Fairy Tale | 2

6.4K 623 17
                                    

Shalu sudah hampir memejamkan mata karena lelah menangis saat ponselnya berbunyi. Panggilan video call. Siapa sih, malam-malam gini pakai video call segala? Dia menggerutu sambil meraba-raba nakas di samping tempat tidur, mencari ponselnya.

Oh, Evans! Shalu mengurut pelipisnya sejenak supaya bisa duduk tegak tanpa rasa pusing,  menyisir rambutnya dengan jari-jemari, lalu membungkus tubuh dengan selimut. Yah, dia tidak akan membiarkan Evans melihat gaun tidur satinnya yang sedikit seksi itu. Belum.

Setelah menghela napas panjang dan dirasa siap, Shalu menggeser ikon berwarna hijau di ponselnya. Pemandangan Evans yang sedang bertelanjang dada pun menghiasi layar. Gelenyar aneh terasa berpilin di perut Shalu, membuat gadis itu bersemu dan gugup.

"Hai, Babe. Kok lama ngangkatnya?" Evans membuka percakapan dengan santai  sambil mengisap sebatang rokok.

"Oh-emm ... iya. Sebenarnya aku baru aja tidur," jawab Shalu, sengaja berkata begitu supaya Evans sadar bahwa di Indonesia Raya sekarang ini sudah lewat tengah malam.

"Jam segini udah tidur, Babe? Paling di Indo baru sekitar jam dua belas, kan? Di sini baru aja petang."

Terus gue harus tidur jam berapa emangnya? Shalu menggerutu dalam hati.

"Oke lupain aja. Yang penting aku udah angkat, kan? Ada apa sampai kamu hubungin aku malam-malam gini, eengg ... Evans?" Shalu mengalihkan pembicaraan.

Di seberang sana Evans tampak mengembuskan asap rokoknya, membentuk bulatan-bulatan udara keabu-abuan yang perlahan pudar tanpa bekas. Mungkin polusi yang bisa membunuh orang itu berjejalan melalui kisi-kisi jendela besar yang ada di belakang Evans. Korden jendela tersebut terbuka, sehingga Shalu bisa menyaksikan pemandangan gedung-gedung tinggi dengan lampunya yang kerlap-kerlip, berlatar awan gelap. Indah. Pemandangan dari lantai dua puluh apartemen Evans memang sering kali membuat Shalu takjub.

"Segitu susah ya, panggil aku dengan sebutan babe, sayang, atau sejenisnya? Kita bakal merried, you know it?"

Shalu menelan ludah dengan susah payah. Lagi-lagi, ini yang dibahas. Sudah hampir dua minggu mereka berkomunikasi, menjalin pedekate virtual seperti yang Tante Mira istilahkan. Hasilnya? Bahkan Shalu belum mendapatkan lima persen perasaan-perasaan konyol seperti ingin tahu Evans sudah makan atau belum, apalagi cinta!

Justru sebaliknya, dia mendapatkan kesan-kesan buruk dari dua minggu ini. Evans merokok dan dia benci cowok perokok, Evans memanggilnya sayang atau babe padahal Shalu masih terlalu risih mendengarnya, dan Evans selalu ingin menghubunginya setiap waktu untuk membicarakan hal-hal yang tidak penting semacam ini. Bahkan saat Shalu sedang bekerja.

Sudah berapa lama cowok ini jomlo sebenarnya? Apa di London sana nggak ada bule yang ngelirik Evans? Pikiran jahil Shalu terkadang muncul.

"So-sorry. Aku cuma belum terbiasa," jawab Shalu datar.

"Butuh berapa lama buat bikin kamu terbiasa?"

Entahlah, Shalu mendesah. Toh kenapa harus membicarakan waktu kalau mereka punya seumur hidup untuk berdua kelak? Siapa yang peduli mau seberapa lama membiasakan diri, kalau sisa hidup mereka akan dihabiskan bersama-sama? Setidaknya itu kan, yang setiap orang harapkan dari sebuah pernikahan?

"Hello, Babe? Hei, I'm still here, dan kamu malah tidur." Ucapan Evans membuat Shalu tergeragap. Dia tidak tidur, hanya sedikit melamun.

"Hmm ... Mama bilang tadi jadwalmu kursus masak di rumah. Let's tell me, udah bisa bikin polenta kesukaanku?"

Shalu tertawa pelan. "Nggak, Brahma belum mulai ngajarin aku masak. Dia bilang aku harus belajar dasar-dasarnya dulu," jawabnya.

Evans kembali mengembuskan asap rokok terakhir, lalu mematikan puntungnya di asbak. "Ah, iya. Aku hampir lupa kamu belajar masak sama dia. Gimana kabar sepupuku yang sok alim itu?" ujarnya kemudian.

Seperti ada sengatan kecil yang membuat Shalu sedikit tersentak mendengar apa yang baru saja Evans ucapkan. "Pardon me? Kenapa kamu bilang kaya gitu tentang Brahma?"

Evans tertawa lepas mendengar pertanyaan Shalu yang menurutnya terlalu antusias bagi orang yang sudah mengantuk. "Urusan cowok, Babe, kamu nggak perlu tahu. Aku cuma nggak mau dia bawa pengaruh buruk buat kamu."

Kedua alis Shalu yang tebal bertaut, pertanda dia sedang berpikir. "Pengaruh buruk? Maksudmu? Aku ... aku nggak ngerasa dia bakal bawa pengaruh semacam itu buatku, Evans."

"Ah, iya iya. Tentu itu cuma kekhawatiranku aja, Babe. Biar gimanapun aku calon suamimu, kan? Wajarlah kalau cemas. Udahlah, kenapa kita jadi ngobrolin dia? Ini seharusnya jadi malam yang indah karena cuma ada kita, Babe." Evans tersenyum jahil.

Obrolan itu berakhir satu jam kemudian walau Shalu sudah terkantuk-kantuk sampai ponselnya beberapa kali jatuh dari genggaman. Dia bahkan sudah dalam keadaan setengah sadar saat Evans memutus sambungan itu dengan kesal.

Meski sudah berada di batas ambang antara tidur dan terjaganya, Shalu masih sempat memikirkan macam-macam. Entah, otaknya masih terkoneksi begitu saja.

Benarkah Evans sosok yang bisa gantiin Papa? Atau paling nggak sedikit mirip sama Papa lah! Kenapa dia kaya benci gitu sama Brahma? Kenapa ... hidup gue rumit gini, sih?

Saat tahu bahwa pertanyaan di tempurung kepalanya itu tak akan terjawab, Shalu pun sempurna menutup kelopak matanya dengan membawa setumpuk beban pikiran. Setidaknya, untuk beberapa jam, dia bisa masuk ke dalam alam mimpi yang indah layaknya negeri dongeng. Semoga saja.

===&===

Pendukungnya Om Evans mana, cung? *tua amat dipanggil om 😅

Semoga mereka berdua jodoh deh, ya 😊

Yang nungguin Brahma sabar, besok ketemu lagi. Stay tune, ya! Jangan lupa voment-nya! Mamacih! 😍

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang