[Tentu saja Tante Mira itu seorang chef! Dasar Shalu bodoh! Apa lagi memangnya sebutan untuk orang yang sampai mau bela-belain ngajarin calon mantunya masak, hanya biar dia yakin putranya nggak terjerumus hidup sama perempuan pengabdi bumbu racikan?]
Nggak apa-apa Shalu, senggaknya kamu jadi bisa masak, kan? Itu nggak buruk, tahu!
[Boro-boro bumbu racik, bedain mana ketumbar sama merica aja nggak bisa!]
Nggak apa-apa, maklumlah kalau cewek sekarang jarang yang bisa masak. Kan semuanya serba instan.
[Kluwek, Shalu. Ini kemiri. Awokwkwkwk!]
"Arrrrgh diaaammm!" Shalu marah-marah sendiri mendengar obrolan antara Shalu Baik dan Shalu Buruk yang terjadi di tempurung kepalanya.
Dari tadi dia uring-uringan, membekap wajahnya dengan bantal supaya Mama tidak mendengarnya teriak-teriak. Bisa-bisa Mama mengira dia kesurupan lagi!
Kenyataan bahwa calon mama mertuanya adalah mantan executive chef di salah satu restoran ternama di Paris, membuat Shalu begitu terguncang.
Paris, Shalu! Yang dibuat Tante Mira bukan bubur ayam atau tahu bulat digoreng dadakan! Mungkin croissant, cafe au lait, ratatouille, foei gras, dan makanan lain yang lidah lo aja bakal keseleo nyebutinnya!
Ya, Tuhan! Tentu saja! Itu sebabnya kenapa Tante Mira sangat cantik, berkelas, anggun, paham table manner tanpa cela, dan pastinya jago masak. Shalu hampir sinting memikirkannya.
Dia jadi mahfum kalau Tante Mira agak ngeri saat pertama Shalu memperkenalkan profesinya. Veterinarians. Bayangan Tante Mira pastilah tangan Shalu selalu digunakan untuk merogoh-rogoh dubur sapi atau memegang unggas-unggas kotor. Berbanding terbalik dengan profesi sang tante, yang mana tangan lembut itu digunakan untuk menciptakan hidangan kelas elit dan membuat siapa saja jadi melupakan program dietnya. Mengenaskan!
Shalu tidak mengerti, apakah keterampilan memasak itu harus dikuasai setiap perempuan di zaman sekarang.
Helowh! Ini kan, zaman digital! Kalau tinggal klik-klik aja makanan bisa datang sendiri, ngapain harus repot-repot masak segala?
Sebagai bagian dari generasi milenial, Shalu memang memegang teguh hal-hal praktis dan taktis, simpel dan tidak ribet. Dia menyebut dirinya perempuan modern dan mandiri, yang bisa cari duit sendiri, beli skincare sendiri, apa-apa sendiri.
Dengan bekal tersebut dia juga ingin suaminya nanti mengerti, kalau dia tidak bisa melakukan hal-hal klasik seperti masak, jahit kancing baju dan sebagainya adalah hal yang bisa dimaklumi. Semua itu toh bisa dikerjakan orang lain, kenapa harus istri?
Persoalan mendasarnya sebenarnya bukan itu, melainkan Shalu memang benci memasak! Belang di tangannya gara-gara kecipratan minyak panas sudah cukup dan dia tak ingin menambahnya lagi.
Dulu, saat Shalu berumur delapan tahunan, dia antusias sekali setiap Mama sibuk di dapur. Nahas, saat itu Mama sedang menggoreng ikan laut yang minyaknya memercik ke mana-mana dan tangan Shalu juga tak luput terkena. Sejak itu dia memutuskan untuk tidak akan lagi berurusan dengan wajan dan kawan-kawannya. Memasak yang bagi sebagian cewek katanya bisa mengembalikan mood, bagi Shalu justru membuat stres.
Sayang, lagi-lagi Shalu harus susah payah menelan kenyataan bahwa hal-hal klasik tersebut rupanya sangat prinsipil bagi Tante Mira. Yah, sama seperti dia yang berkeras bahwa jual beli kitten adalah hal paling tidak berperi-kehewanan. Tentu Shalu tidak akan mengusik atau menentang sesuatu yang sifatnya mendarah daging begitu.
Biar bagaimanapun, manusia diciptakan dengan keunikan yang berbeda sehingga timbullah persepsi yang berbeda-beda pula terhadap hidup ini. Dan, tugas sebagai sesama manusia adalah untuk saling menghormati, Shalu mengerti betul hal itu.
"Dari kecil Evans nggak pernah Tante kasih MSG atau bahan-bahan sejenis itu. Tante selalu masak masakan favoritnya dengan prinsip health and clean. Di London sekarang pasti dia lebih sering makan makanan nggak sehat.
Jadi, setelah nikah dia harus kembali ke pola awalnya. Dan tanggung jawab itu ada di tangan kamu, Shalu. Karena itu kamu harus bisa masak. Tentu bukan cuma buat Evans, tapi nantinya buat anak-anak kalian juga." Begitu kira-kira orasi Tante Mira sebelum Shalu dan mamanya pulang dari acara menyenangkan tadi.
Sekarang, sampai pukul dua dini hari begini gadis itu tak bisa memejamkan mata. Frustasi. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam waktu sesingkat ini.
Memang, sosok Evans yang terpampang di layar ponsel Tante Mira waktu itu bisa membuatnya merasa deg-deg ser. Namun, itu bukan pula berarti lima bulan lagi Shalu mau menikah dengannya. Dia yakin deg-deg ser yang timbul itu hanya perasaan terpesona sesaat saja.
Ya, cewek normal mana juga yang nggak bakal terpesona sama Evans?
Lagipula, di mana-mana yang Shalu tahu adalah saling kenal dulu, pedekate dalam waktu yang cukup dulu, baru timbul cinta. Bukan terbalik seperti kata Mama, cinta bisa tumbuh sambil jalan. Iya kalau bisa, kalau nyatanya tidak?
"Aaargh!" Shalu berteriak lagi di bawah bekapan bantal.
Dia merasa seolah Tuhan melempar kerikil kecil di permukaan air kehidupannya yang tenang sehingga menimbulkan riak-riak di sana. Dan sekarang mungkin Tuhan sedang tertawa menikmati permainan lempar kerikil-Nya.
===&===
Hmm ... udah nggak sabar nih, seminggu cepat berlalu biar Shalu buru-buru belajar masak. Kira-kira Tante Mira bisa nggak ya, bikin Shalu jadi suka masak?
Klik bintang atau komen, besok aku lanjut insyaAllah ❤ Oh iya, Happy weekend everyone! 😂
Salam Spatula
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
ChickLit[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...