Satu tahun berlalu penuh dengan kelopak-kelopak lili yang menghujani hati Brahma. Tidak mau menunda-nunda lagi, Brahma pun meminta restu pada Tante Mira untuk melamar Lili. Tante sempat terperangah dengan keputusan sang keponakan, meski akhirnya toh tidak bisa berbuat apa-apa.
"Memangnya aku mau milih perempuan yang kaya gimana lagi sih, Tante? Aku tahu diri aku ini siapa, ada cewek yang tulus nerima dan membalas perasaanku aja itu udah cukup." Itulah jawaban Brahma saat Tante Mira berkata di luar sana masih banyak gadis yang sepadan dengannya. Kenapa harus Lili? Akhirnya, dengan menghela napas berat Tante Mira pun memberikan restu.
Keesokan senja Brahma mengajak Lili ke restoran hotel Merlion. Dia sudah memesan satu set meja kursi di rooftop yang di atasnya terdapat buket fleur de lys---lili-lili berbagai warna. Brahma ingin melamar Liliana secara langsung di bawah semburat jingga lazuardi. Dia telah menyiapkan cincin dalam sebuah kotak beludru merah di saku kemejanya. Nanti, di sela-sela menikmati makanan, Brahma akan memberikan kejutan tersebut pada sang gadis pujaan.
"Kamu suka, Liliana?" Brahma membuka percakapan sembari menenangkan detak jantungnya yang sedari tadi bertalu tak beraturan.
Gadis manis itu mengangguk. Sore ini Lili terlihat agak lesu dalam balutan dress selutut berwarna biru muda. Brahma juga kehilangan binar-binar di manik mata sang kekasih, berikut senyum lesung pipinya.
"Kamu sakit, Lili?" Sang chef mulai khawatir. "Aku ngajak kamu makan di sini sebenarnya mau ngomongin sesuatu yang penting. Tapi kalau kamu nggak enak badan kita pulang sekarang aja, ya. Muka kamu pucat, Liliana. Kita ke dokter, ya? Ayo!" Brahma sudah berdiri dengan gusar dan tergesa, sementara Lili tetap bergeming di kursinya.
Perlahan gadis itu mendongak, menatap wajah Brahma yang menyiratkan kecemasan. "Duduk, Brahma. Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu," ucapnya lirih sementara tangannya menggapai telapak tangan Brahma, menggenggamnya lemah.
Brahma menurut. Entah lebih karena penasaran atau sikap Lili yang beda dari biasanya, tapi rasa tidak enak merayap ke dalam dada sang chef. Dia tidak ingin membuang kesempatan. Dia harus melamar Lili sekarang.
"Aku ngajak kamu ke sini buat ngelamar kamu, Lili."
Si gadis berlesung pipi terkesiap mendengar kalimat tiba-tiba yang meluncur dari cowok di hadapannya. Dia mengerjap beberapa kali seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. Sebelum sempat menjawab, Brahma sudah mengeluarkan kotak beludru merah dari sakunya, membuat Liliana semakin ternganga.
"Kamu mau kan, Liliana? Menerima lamaranku, kita hidup bersama?" Senyum Brahma terkembang. Dibukanya kotak beludru di tangan hingga terlihat sebuah cincin emas putih dengan batu permata merah muda di tengahnya.
"Menikahlah denganku, Liliana." Brahma berujar lembut, menatap dalam bola mata Liliana yang sekarang tampak berkaca-kaca.
Gadis itu membekap mulutnya. Wajah yang sudah pucat dari tadi semakin kentara pasi. "A-aku nggak bisa, Brahma. Ma-af ..."
Singkat saja, tapi sukses membuat Brahma terperenyak. Dia tidak menduga sama sekali Lili akan menolak. "Kenapa nggak, Lili? Aku cinta sama kamu, tulus! Kamu juga, kan? Apa artinya kedekatan kita setahun ini kalau ujungnya kita nggak hidup bareng?"
Lili merogoh tas selempang yang dia kenakan, lantas mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah benda yang membuat hati Brahma hancur menjadi butiran-butiran atom tanpa menyisakan apa pun.
"Ini yang pengin aku omongin ke kamu. Maaf, Brahma." Tangis Lili pecah saat menunjukkan benda pipih berbungkus plastik tersebut: test pack dengan dua garis merah.
Sekarang Brahma yang terperangah tidak percaya. Campuran berbagai emosi seketika berpusar dalam dirinya, menimbulkan gelombang reaksi yang tidak terdeskripsikan. Antara kecewa, marah, sakit, dan kasihan berbaur jadi satu.
"Si-siapa yang ngelakuin ini ke kamu?" Pandangan Brahma buram karena air mata yang menggenang di netranya. Dia nyaris kehilangan kewarasan saat mendengar Liliana justru menangis semakin kencang sehingga bahunya berguncang-guncang.
"Siapa, Liliana!" Rahang Brahma mengeras. Perutnya sudah mulai terasa kaku menahan amarah. Dan begitu Liliana menyebut sebuah nama---pelakunya---dunia sang chef seolah telah kiamat.
"Kita ke rumah Tante Mira sekarang!" Brahma menggandeng paksa Liliana, meninggalkan meja bertaplak putih dengan buket lili yang satu dua kelopaknya mulai beterbangan tersapu angin.
*
"Benar yang dikatakan mereka, Evans?" Tante Mira bertanya dingin. Sorot mata wanita ayu itu tajam, seperti sedang menyelami relung hati putranya semata wayang.
Brahma, Liliana, Tante Mira, dan Evans kini sudah duduk mengelilingi meja persegi panjang di ruang kerja Tante. Setelah Brahma mengulang cerita Liliana---bahwa keperawanan kekasihnya direnggut paksa Evans yang sedang mabuk berat dan sekarang sedang mengandung bakal anaknya---Tante langsung memanggil Evans yang kebetulan sedang santai di kamar.
"Mama percaya? Gimana kalau Liliana ini berencana buat morotin kita?" Ucapan Evans yang sengit bagaikan cambuk bagi Brahma. Cowok jangkung itu segera berdiri dengan wajah memerah.
"Lagi pula lo yakin yang di perut cewek ini bayi gue, Bro? Kaya lo nggak pernah tidur aja sama dia," lanjut Evans sembari terkekeh geli.
"Bajingan!" Tinju Brahma mengepal. Dia serta merta meraih kerah baju Evans yang tak sempat menghindar. Reaksi Brahma yang tiba-tiba di luar perhitungannya. Satu pukulan mendarat di perut Evans.
"Stop, Brahma! Apa-apaan kamu!" Tante Mira melerai kedua anaknya sebelum ruang kerjanya berubah jadi ring tinju. Sekarang pandangannya beralih pada Evans, tatapan mengintimidasi khas Tante Mira yang tidak bisa dihindari siapa saja.
Evans mengangkat kedua tangannya ke udara. Menyerah. "Oke, oke! Gue emang ngelakuin itu ke Lili. Tapi serius Bro, lo nggak pernah tidur sama dia? Haha! Sayang banget kalau gitu. Tanya ke cewek lo itu, gimana keenakannya dia setelah dipaksa. Dua tiga kali juga dia sendiri yang nyodorin diri. Apalagi kalau ada duitnya. Cewek lo perek, Bro!"
Darah mengalir dari ujung bibir Evans beberapa menit kemudian karena pukulan Brahma yang membabi buta. Tante Mira tidak melerai lagi, dia juga merasa jijik dengan putranya sendiri. Alih-alih mengurusi Evans, Tante Mira justru bertanya sengit pada Liliana.
"Sudah berapa minggu usia kandungan kamu?"
Lili menjawab lirih tanpa berani menatap wajah sang majikan. "Se-sebelas minggu, Bu."
Sebelum menemui Brahma, dia memang sudah memeriksakan diri ke bidan lantaran merasa tidak enak badan. Test pack yang Lili bawa juga merupakan hasil pemeriksaannya di BPM.
Tante Mira tersenyum masam. "Bagus kalau gitu. Kalian nggak perlu ributin lagi ini anak siapa. Besok kita lakukan tes DNA. Brahma, kalau yang di perut Liliana ini anak kamu, nikahi dia seperti mau kamu! Kalau ternyata terbukti anak Evans ... Lili, kamu harus gugurkan kandunganmu dan angkat kaki dari hadapan saya. Saya akan kasih berapa pun uang yang kamu minta!"
===&===
Kalian ngebayangin cast buat Tante Mira ini siapa, sih? Lili juga siapa? Aku belum nemu cast yang pas nih! 😅
Makasih yang masih ninggalin voment, ya! 😍
Salam Spatula,
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
Genç Kız Edebiyatı[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...