Bab 23: Mazagran

3.9K 396 9
                                    

Sabtu sorenya, Brahma sudah stand by di dapur tepat pukul empat. Raut wajahnya semringah saat mendapati Shalu yang datang tiga puluh menit kemudian. Sejak memergoki Niken dan Brahma sedang bermesraan beberapa hari lalu, Shalu sebenarnya malas bertemu lagi dengan chef bintang dua itu. Namun, entah kenapa dan apa yang membawanya, toh sore ini dia datang juga.

"Shal." Brahma membuka percakapan sambil menyiapkan bahan-bahan setelah beberapa saat keduanya terdiam.

"Gue mau minta maaf soal ... kemarin. Harusnya lo masuk aja ke apartemen gue," lanjutnya.

Shalu yang sedang sibuk memilah bawang bombai untuk membuat makanan terlezat dari Perancis ini, mendongak. Matanya menatap lurus seolah sedang berusaha menyelami manik netra Brahma.

"Masuk dan ganggu sweet momen lo?" Dia mendengkus. "Nggak mungkinlah, Brahma."

Lalu tangan Shalu cekatan mengambil pisau. Dia ingin segera mengeksekusi resep soup a l'oignon tanpa banyak basa-basi, apalagi mengobrol soal kejadian kemarin. Dia jengah sekali.

"Ta-tapi ... kenapa lo, na---"

"Gue nggak pengin bicarain ini, Chef. Bisa kita fokus masak aja? Oke, malam itu gue emang mau jenguk dan ngasih surprise buat lo. Gue emang bodoh nggak ngasih tahu lo dulu. Gue nggak kepikiran kalau kedatangan gue bakal ganggu kalian. Sorry, gue harusnya yang minta maaf. Eh, tunggu! Dari siapa lo tahu gue yang datang?" Shalu mengernyit kemudian buru-buru membekap mulut. Bukannya dia bisa menyangkal alih-alih keceplosan panjang lebar begini?

Siapa tahu Brahma cuma nebak-nebak aja? Dia kan, nggak bener-bener lihat gue! Dasar Shalu bodoh!

"Gue ngelihat mobil lo keluar dari apartemen. Gue ngejar lo, Shal. Dan siapa lagi emangnya yang punya dressing akhir cake seberantakan itu?" Brahma mencoba bercanda, tapi Shalu sama sekali tidak bereaksi apa-apa. Ekspresinya datar dan dingin, padahal hatinya bergemuruh. Brahma ngejar gue dan ninggalin si siapaitunamanya gitu aja, gitu? Kenapa?

Sang chef sebenarnya ingin bertanya kenapa Shalu menangis, tapi urung. Rasa penasaran antara ingin tahu isi hati Shalu yang bagaimana yang bisa membuatnya menangis begitu, atau pura-pura tidak tahu saja demi menjaga keadaan. Dia bisa membayangkan bagaimana tanggapan Shalu jika Brahma bertanya kenapa gadis itu menangis. Marah mungkin, menyangkal, malu, sehingga situasi akan jadi serba canggung. Lebih buruknya, hubungannya dengan Shalu tidak bisa sebaik ini lagi.

Apa Shalu ... cemburu? Ah, mana mungkin! Brahma menyangkal spekulasi terakhirnya barusan. Dia tidak ingin berharap. Lebih daripada itu, ucapan Niken ada benarnya menurut Brahma. Andai Shalu membalas perasaannya pun, lantas mereka mau apa? Meski sisi hatinya merutuki betapa pengecut sikapnya tersebut, Brahma memilih tidak ambil pusing. Entahlah, mungkin mencoba menerima realitas adalah jalan terbaik baginya saat ini. Meski dia yakin cintanya pada Shalu tidak bisa mati, biarlah jadi urusan nanti---urusannya. Yang penting, dia tidak mau kehilangan saat-saat terakhir yang menyenangkan bersama Shalu sekarang.

"Well, kayanya semangat bener deh, sore ini!" Brahma mencoba mencairkan suasana saat melihat Shalu sudah sibuk dengan bawang bombainya. Dia memilih untuk menutup topik tragedi apartemen itu.

"Setelah lo kupas bawang bombai dan mengirisnya jadi bentuk tipis panjang, lo bisa panasin butter pakai panci, kemudian lo tambahin irisan bawangnya, Shal."

Shalu mengikuti instruksi tersebut dalam diam. Dia memasak bawang dengan api kecil sampai benar-benar lembut dan kecokelatan. Setelahnya, Shalu menaburkan terigu dan mengaduk hingga terigunya juga berwarna cokelat. Sementara itu, Brahma membantu menambahkan kaldu dan mengaduknya, juga menaburi garam dan merica dengan takaran pas sesuai selera.

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang