Hai, Princess! Long time no see :)
Apa kabar? Ini gue, Brahma.
Shalu mengerjapkan mata untuk memastikan tidak sedang salah baca. Jantungnya kian berpacu, seolah ingin berkhianat meninggalkan tangkainya begitu saja. Oke, ini yang gue nanti-nantiin. Gue harus siap! Tatapan Shalu kembali lekat pada tulisan panjang di badan email.
Pertama, lo pasti bertanya-tanya kok bisa gue dapat alamat email lo. Inget pas dulu kita ke klinik lo buat ngobatin kucing yang ketabrak itu? Nah, gue ambil satu kartu nama lo di meja, hehe.
Kedua, lo pasti bertanya-tanya kenapa gue nggak bisa dihubungi, kenapa like dan subscribe lo nggak pernah gue respon, dan ... lo penasaran nggak kenapa gue pergi? (Okay gue emang ge-er, lo bisa lihat dari nama email gue yang katanya alay)
Shal, kalau lo bertanya tentang itu semua, gue seneng. Kalau nggak pun ya nggak apa, anggap aja gue lagi curhat. Terserah lo mau percaya atau nggak, tapi sama sekali nggak mudah bagi gue buat ngungkapin ini ke lo. See? Gue butuh waktu setahun lebih, kan?
Peristiwa yang nimpa lo malam itu bikin gue terpukul banget, Shal. Demi Tuhan. Gue bener-bener ngerasa jadi cowok paling pengecut dan nggak bertanggung jawab. Kalau lo bilang itu semua salah gue, lo bener. Kalau lo bilang gue yang jerumusin lo sejak awal, lo benar. Nyatanya emang nyali pecundang gue yang bikin hal tersebut kejadian sama lo.
Gue dengan begonya mempertaruhkan keselamatan dan kehormatan lo dengan janji Tante Mira. Tante jamin ke gue kalau Evans udah berubah, karena itu gue mau nutupin kelakuan bejatnya dari lo. Karena itu juga gue mau ... ah udahlah. Dan keselamatan lo yang gue pertaruhin di sini. I'm so sorry.
Posisi gue bener-bener sulit, Shal. Gue pengin banget ngelindungin lo dengan cara apa pun, termasuk usaha buat bikin lo jatuh cinta ke gue supaya lo jauh dari Evans (haha!) Itu cara halus gue biar Tante Mira nggak ngejudge gue sebagai ponakan yang nggak tahu terima kasih. Gue ... gue berutang budi dan nyawa sama dia, Shal, sampai-sampai impian terbesar gue dulu adalah bikin Tante Mira bahagia. Gue nggak mau bikin dia kecewa karena gue nggak setuju lo sama Evans.
Shalu tertegun. Dia menyeruput kembali cokelat dinginnya, berharap dengan itu detak jantungnya bisa lebih tenang. Setelah memejamkan mata sejenak sembari menganjur napas dalam, dia melanjutkan lagi membaca isi email Brahma.
Malam itu, pas Bi Nah telepon gue dan bilang lo lagi dalam bahaya, gue bener-bener di luar kendali. Gue marah banget sama Evans, tapi lebih marah lagi sama Tante Mira. Gue nggak nyangka dia bakal tetap kekeh lanjutin acara pernikahan kalian setelah kejadian itu. Malamnya dia telepon gue dan minta gue buat pergi. Pergi selamanya dari segala hal yang gue cintai. Dari apartemen, dari restoran, dari kerjaan gue ... juga dari lo.
Ya, bener. Lo nggak salah baca. Lo emang salah satu dari sekian hal yang gue cintai dan nggak bisa gue tinggal. Satu tahun ini nggak sehari pun terlewati tanpa gue zoom in-zoom out foto-foto lo di ponsel. Lo tahu nggak sih, Shal? Pepatah lama itu bener. Saat lo nggak punya apa-apa lagi untuk hidup, harapan bisa bikin lo tetap hidup. Persis. Cuma itu yang gue punya tanpa pekerjaan, tanpa rumah, tanpa tabungan yang cukup, tanpa siapa-siapa. Dan lo adalah sendi-sendi dari seluruh harapan gue. Lo akarnya. Muaranya. Karena berharap gue bisa lihat lo lagi suatu saat nanti, gue bisa hidup sampai sekarang ini.
Gue tahu pernikahan lo batal. Sorry Shal kalau gue seneng denger kabar itu. Tapi gue yakin kok, itu lo yang minta, kan? Seenggaknya gue bisa lega karena lo bener-bener udah lepas dari cengkeraman Evans. Gue ... pas tahu berita itu gue pengin banget nyamperin lo. Bilang kalau gue cinta sama lo, ngajak lo merit kaya di film-film India. Tapi kemudian gue sadar satu hal. Apa lo juga cinta sama gue? Apa lo mau merit sama gue yang kere, yang sebatang kara, yang bukan lagi siapa-siapa?
Akhirnya gue sengaja ngilang, Shal. Gue pengin lupain semua masa lalu gue, Tante Mira, kerjaan yang gue cintai, Bogor, lo. Gue nonaktifin semua medsos, gue reset ponsel sampai semua kontak ilang, seolah dengan itu gue bisa mendadak amnesia. Nyatanya? Gue justru jadi gila, Shal!
Percaya sama gue, ngadepin segala sesuatu yang buruk di luar sana jauh lebih ringan ketimbang mengadili diri lo sendiri. Itulah yang gue alami setahun terakhir ini. Gue coba nerima semuanya. Nerima kalau gue emang pengecut. Nerima semua rasa bersalah gue. Nerima nasib dan keadaan gue. Coba maafin diri gue sendiri. Gue berusaha motivasi diri gue yang bener-bener nol.
Gue nggak mungkin kan, ngajakin lo nikah (itu pun seandainya lo mau, hehe) dan hidup susah? Gue emang pernah bilang ke lo kalau harta dan uang bukan segalanya dalam rumah tangga, tapi harga diri gue sebagai cowok nggak bisa nerima itu. Seminim-minimnya gue kudu punya kerjaan tetap, ya kan?
Akhirnya sampailah gue di titik ini. Gue mutusin ngirim email setelah lebam-lebam di hati gue sedikit pudar. Setelah jiwa gue sedikit sembuh. Setelah gue punya sedikit kesiapan. Berkat kehadiran lo dalam hidup gue yang cuma beberapa bulan, gue selamat dari putus asa, Shal. Gue pakai tabungan gue buat usaha katering kecil-kecilan, gue kasih nama katering itu Yoris Catering. Lo nggak keberatan, kan? Ini sebagai pengingat buat gue, bahwa pernah ada seseorang yang sangat berarti masuk dalam hidup gue. Seenggaknya saat ntar gue udah pikun, gue harap dengan mengeja nama usaha gue, gue masih bisa ingat senyum lo.
Berkat katering ini identitas gue kebongkar, sampai acara komersil itu ngundang gue sebagai juri tamu. Dan channel gue ... asal lo tahu, Shal, itu gue buat sebagai persembahan khusus buat lo. Supaya di mana pun lo berada, sama siapa pun lo hidup, lo bisa belajar masak dengan gampang. Gue seneng banget waktu lo subscribe dan selalu kasih like. Makasih, Shal :)
Duh, capek juga ngetik panjang gini, haha!
Shal, lewat email ini gue pengin nyampein sesuatu yang selama ini gue pendam. Gue cinta sama lo lebih dari cinta gue sama diri gue sendiri. Ibarat kata, mending gue yang terluka ketimbang lihat lo netesin air mata. Tapi saat ini gue nggak akan nanya gimana perasaan lo ke gue apalagi lancang ngajakin lo merit. Gue cuma mau ungkapin itu. Gue pengin lo tahu kalau di belahan lain bumi ada cowok yang bisa tetap hidup lantaran rasa cintanya sama lo.
Kalau seandainya sekarang lo lagi deket sama seseorang atau malah udah mau merit, plis lanjutin, Shal. Lanjutin hidup lo. Bahagialah. Gue selalu doain lo, berharap doa-doa itu bisa jagain lo setiap waktu.
Dulu gue selalu berharap Tuhan berkehendak lain, nyatuin lo sama gue. Alasan gue egois, supaya gue bahagia dan dengan besar kepala ngaku kalau guelah yang terbaik buat lo. Tapi mulai sekarang gue udah berhenti ngarepin itu. Gue sadar, tanpa gue dan lo bersatu pun, gue bakal tetap bahagia, Shal. Cuma satu kuncinya. Lo bahagia. Saat itulah gue ngerasa cinta gue buat lo udah sempurna.
Gue tahu ini kedengaran konyol. Cinta nggak harus memiliki adalah quote yang dulu gue anggap sampah. Tapi Tuhan nunjukin ke gue bahwa hal tersebut bukan sampah sama sekali. Lewat lo, Shal. Menurut gue, cinta yang tetap terpelihara tanpa keegoisan untuk memiliki adalah suatu kesejatian dari cinta itu sendiri.
Thanks buat semuanya, Shal :)
(Ex) Chef (yang Tetap) Ganteng,
Brahma
Rintik-rintik gerimis satu per satu turun lagi, bersamaan dengan air mata yang juga turun satu-satu membasahi pipi Shalu.
===&===
Besok endiiiiing, lhooooo! 😣
Makasih yang masih stay ninggalin voment, ya! 😍
Salam Spatula,
Ayu 😘
![](https://img.wattpad.com/cover/201994932-288-k167739.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
ChickLit[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...