Joshua Hong
As
dr. Joshua LautnerJoshua Lautner,
Susah gak sih nyebut nama gue?
Masa Catra sama Gatra sering salah panggil jadi softener, kan anak-anak satu squad jadi ngikutin semua. Kalau gue dateng ngaret karena ada jadwal visit di RS sebelah, pasti mereka bakal nanya; 'Si Soptener mana? Lama amat kayak naik delman keong'. Perlu dipertegas juga, mereka gak bisa bilang F, pasti jadi P dan itu tuh bikin gue risih banget sampe harus mengoreksi cara bicara mereka semua.
Gue lahir di Los Angeles, makanya Akta kelahiran gue beda sama yang lain karena dikeluarkan oleh pemerintah Los Angeles. Tapi jangan salah, gue Warga Negara Indonesia kok. Soalnya waktu itu kedua orang tua gue udah jadi WNI meskipun awalnya Mama masih WNA, makanya secara otomatis gue tetap menjadi penduduk Indonesia walau lahir dan besar di Amerika.
Sampai lulus S1 kedokteran, gue menetap di Los Angeles dengan izin tinggal resmi dari Indonesia. Baru saat menempuh pendidikan spesialis, gue pindah ke Bandung dan memutuskan buat menetap disana. Awalnya gue tertarik ke Bedah Syaraf, tapi rada ngeri juga melihat waktu tempuh pendidikannya yang wow, luar biasa lama. Setelah berkonsultasi lagi dengan Papa dan Mama, akhirnya gue memutuskan untuk mengambil spesialis saraf di salah satu kampus yang cukup ternama daerah Jatinangor.
Di Indonesia gue tinggal sendiri, sama sekali gak punya sanak keluarga karena baik dari keluarga Mama atau Papa, semuanya pada pindah ke LA untuk meneruskan perusahaan manufaktur alat-alat berat yang di ekspor ke negara-negara Eropa juga Amerika. Jangan tanya kenapa gue jadi dokter, mungkin udah panggilan jiwa aja buat mengabdi kepada masyarakat banyak yang membutuhkan bantuan gue. Padahal kalau mau, gue bisa kerja di rumah sakit - rumah sakit besar dengan bayaran tinggi dibanding harus praktek di RSJ- walau cuma sebentar.
Percaya atau enggak, beberapa penyakit kejiwaan berhubungan langsung dengan susunan sistem saraf yang ada pada otak. Pasien gue di RSJ kebanyakan para lansia atau anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki masalah dengan sumsum tulang belakang atau otaknya. Hari ini misal, setelah kepergian Johan yang dateng-dateng bilang kangen ngumpul bareng, gue kedatangan dua pasien yang sebelumnya sudah punya jadwal di jam delapan. Harusnya sih dokter yang telat, tapi gue gak pernah kayak gitu kalau memang kondisinya memungkinkan tanpa ada visit atau permintaan bantuan operasi cito mendadak dari dokter spesialis bedah saraf di rumah sakit lain.
"Eh, Bu Bunga. Gimana kabarnya, Bu?" Sapa gue ramah saat perempuan berusia tiga perempat abad itu memasuki ruangan dengan sebuah kursi roda yang didorong oleh putrinya.
Sebenarnya Bu Bunga ini pasien gue di RSHS, tapi rumahnya yang ada di Subang sana menjadi penghambat buat datang ke Rumah Sakit itu sehingga gue menyarankan supaya dia kontrol ke RSJ aja. Awalnya mereka nolak, habis operasi kok kontrolnya ke RSJ sih? Setelah gue jelaskan, baru deh mereka ngerti. Lagian kan RSJ bukan cuma buat pasien penderita gangguan jiwa aja. Rumah sakit ini mah segala ada, pengobatan umum dan penerima BPJS juga dilayani kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA BELAS JIWA
FanfictionCerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan menemukan eratnya persahabatan, pengabdian terhadap sesama, hingga tujuan-tujuan kenapa mereka harus terlahir ke dunia. • All 13 members of Sev...