Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan menemukan eratnya persahabatan, pengabdian terhadap sesama, hingga tujuan-tujuan kenapa mereka harus terlahir ke dunia.
• All 13 members of Sev...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kata Bang Haji Rhoma Irama mah, kalau sudah tiada baru terasa bahwa kehadirannya sungguh berharga.
Yang barusan nyanyi, fix lo semua salah satu dari Forsa alias Fans Rhoma Irama dan Sonetta.
Oke, udahan dulu bercandanya, gue lagi mau serius karena tuntutan peran. Ini bukan ngada-ngada ya, tapi gue sangat percaya kalau kita baru akan bisa menghargai keberadaan orang ketika kita merasakan kehilangan. Gue nggak lagi ngomongin orang, tapi lagi ngomongin diri sendiri yang sempat mengalami bagaimana rasanya sepi karena ditinggalkan.
Orang yang lo pikir kehadirannya nggak sepenting itu dalam hidup lo justru bisa jadi satu-satunya orang yang mengambil banyak ruang dalam hati lo. Karena terbiasa bertemu dengannya, melihat semua tingkahnya, lo jadi sangat kehilangan ketika suara dan tingkah anehnya itu tidak lagi bisa lo lihat. Lalu kemudian dari sana lo akan disadarkan, bahwa orang yang lo rasa tidak memiliki peran itu justru adalah tokoh utama didalam cerita yang lo punya.
Iya, gue sempat denial sama perasaan itu. Gue gak mau mengakui, tapi pada akhirnya gue yang tersiksa sendiri. Bisa menjadi sedekat ini dengan dia saja masih terasa seperti sebuah mimpi. Kadang masih mikir, kok bisa ya? Kok bisa-bisanya gue malah sayang sama cewek yang dulu selalu sebelah mata gue pandang?
"Ya elu gak ada beda sama gua berarti, hahaha!" Kalo lagi akur, gue sama Catra pasti selalu nongkrong berdua di balkon kamarnya dia. Dulu pada masanya kita sempat berantem buat rebutan kamar ini. Soalnya kamar yang sekarang gue tempatin nggak ada balkon keluar dan cuma ada sebuah jendela yang dipakaikan tralis aja— kayak penjara.
"Seenggaknya gue gak PHP kayak lo." Ibu kalo moodnya bagus, pasti selalu bikinin kita makanan-makanan enak. Buat gue sama Catra, meskipun cuma sebatas bakwan atau goreng pisang, rasanya tetep sangat enak asalkan harus ibu yang gorengin.
"Dih, dih, parah mana sama yang nolak mentah-mentah terus akhirnya mohon-mohon?"
"Gue gak mohon-mohon!" Padahal menurut psikologi, kalau kita nyolot saat menanggapi sesuatu, maka ada dua kemungkinan yang menjadi jawaban; mengaku secara tidak sadar atau memberikan pembelaan karena dia tahu kalau dirinya berdosa. "Cuma ... ya ... gitu."
"Hahaha, anjing!" Gue beneran gak keberatan walau dia maki-maki pake kata kasar, tapi bisa gak sih dia tuh gak usah mukul gue sampe pisang goreng yang berharga ini terlempar ke kolam punyanya Ayah?
"YEU BANGSAT JATOH KAN?!" Burung-burung yang baru aja mau istirahat di kabel listrik depan rumah langsung pada terbang denger gue teriak kenceng. "Aduh anjir itu enak banget lagi, manis-manis kayak ada madunya."
"Lebay lo, tibang sisa segigit doang. Nih gua ganti, nih!" Katanya sambil menunjukkan makanan didalam mulutnya sendiri. Kasian banget gue sama cewek yang bakalan jadi istrinya nanti. Kelakuannya goblok banget, ngada-ngada, gak masuk akal.
"Tapi Tra, kok gue ngerasa kalo Kaila tuh emang orang yang tepat ya? Maksud gue ... kayak yakin aja gitu, gak tau kenapa."
"Makanya, don't judge a book from the cover. Oneng-oneng juga hatinya tulus, tanggung jawabnya gede. Beuh, tinggal seriusnya aja lo mah, Gat." Besok-besok gue mau nyuruh ibu buang sarung Catra yang ini ah. Mata gue sakit banget liat sobekan di sarungnya itu, dan herannya yang terhormat Catra Surya Wirawan sangat betah pake sarung bermotif kotak-kotak tersebut.