2.9 Pram

15.5K 2.6K 1.5K
                                    

Pram

"Jarak dari lamaran ke pernikahan itu gak boleh lama-lama, kalau bisa Abi minta pernikahannya terhitung tiga bulan dari sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jarak dari lamaran ke pernikahan itu gak boleh lama-lama, kalau bisa Abi minta pernikahannya terhitung tiga bulan dari sekarang. Pram sanggup?"

Itu adalah ucapan Abi-nya Ainun ketika gue mengadakan lamaran ke rumahnya. Jelas gue menyanggupi, menikah hari itu juga sebenarnya gue bersedia. Hanya saja, gue masih memikirkan Ainun yang ... gak tau, kadang gue selalu merasa masih banyak keterpaksaan dibalik kata ikhlas yang dia ucapkan.

Persiapan pernikahannya udah 70% rampung, padahal ini baru dua minggu semenjak lamaran dilakukan. Ibu gue sih yang urus, mulai dari yang kecil sampai yang besar dia yang mengatur dan tak membiarkan anak serta calon menantunya ini kerepotan. Gue udah berpesan supaya pestanya gak usah rame-rame amat, tapi gak tau dah soalnya Ibu gue orangnya suka buang-buang duit jadi yaudah gue ngikutin aja.

Lima hari lalu, gue dapet undangan dari teman sejawat gue yang kerja di RS Immanuel Bandung. Katanya mau nikah, tadinya sih gak akan dateng soalnya belakangan Bandung panas banget. Tapi berhubung gue lumayan deket sama dia pas kuliah dulu, akhirnya gue memutuskan untuk hadir itung-itung nabung amplop biar pas gue nikahan dia juga dateng— bawa amplop.

"Ay mau anter Mas Pram gak?" Saat itu gak ada jawaban. Obrolan di telepon berubah hening, cuma ada grasak-grusuk yang entah apa dari seberang sana.

"Ay?"

Pasti dia gak mau deh, yakin gue.

"Yaudah kalo gak mau, Mas Pram izin buat pergi ke nikahannya Satya, ya?"

Capek gue ngehadapin sifat Ainun yang seperti ini. Parahnya gue sampe mikir kalo misal lamaran ini dihentikan aja. Sekali lagi gue bilang, gue gak tau. Gue gak tau apa yang salah sama dia namun semakin sini Ainun terasa semakin asing untuk gue.

"Ainun ikut."

Untung teleponnya belum ditutup. Begonya gue senyum, lebar banget malah sampe nyaris cosplay jadi Joker.

"Mas Pram pake baju apa nanti?"

"Setelan item paling, biasa." Jawab gue.

"Jam berapa? Ainun belum siap-siap soalnya."

Gue melirik jam yang menempel di dinding kamar, "Jam sepuluh Mas Pram berangkat."

"Oke." katanya. Lalu setelah itu panggilan terputus, gue melihat room chat sebentar kemudian menyimpan ponsel begitu saja diatas tempat tidur. Percaya deh sama gue, ruang obrolan kita di WhatsApp nyaris kosong tanpa percakapan. Gak ada obrolan yang ngalir, yang ada cuma;

'Mas udah di parkiran'

'Ok'

Atau;

'Mas ke rumah ya'

'Iya'

Gitu aja isinya. Gak pernah sekalipun kita bahas sesuatu yang seru disana layaknya pasangan lain. Gak ada yang bisa gue baca ulang sampe senyam-senyum sendiri kayak Johan sama Teteh Kantin yang ruang obrolannya berubah jadi panggung lawak dadakan. Kalo ketemu pun Ainun jadi banyak diam, ngomong seperlunya dan masih gak pernah mau melihat gue tepat di wajah atau di mata.

TIGA BELAS JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang