Raga
Tiap kali kebagian jaga malam dan kebetulan lagi gak ada pasien, gue suka duduk sendirian sambil memandangi apapun yang enak dijadikan objek. Biasanya kalau nggak kipas angin yang muter, ya jam analog di atas pintu ruang tindakan. Terus gue suka mikirin hal-hal yang nggak sengaja lewat ke kepala, misalnya soal kenapa gue bisa bertemu dalam kebetulan yang sama bersama dengan Melody.
Gue masih nggak nyangka, gadis kecil yang dulu ngikutin gue dekat intalasi rehabilitasi mental itu justru akan jadi seseorang yang sedang gue perjuangkan. Gue juga gak nyangka, kalau candaan dan kecupan dia yang kekanakan itu justru akan berubah menjadi keseriusan seperti sekarang. Cara dia bertumbuh dewasa dalam beberapa bulan ini terasa begitu drastis, apalagi dalam waktu dekat dirinya akan segera gue peristri.
Pertentangan?
Banyak. Entah dari teman dekat, keluarga, sampai orang yang cuma sekedar kenal. Omongannya pada gak enak, gak jarang juga bikin gue kepikiran buat gak ngelanjutin hal ini karena takut oleh tanggapan mereka. Tapi gue seolah disadarkan, yang tau bahagia buat diri lo ya cuma lo seorang. Dan itu artinya, kalau gue bahagia sama pilihan gue, ngapain harus dengerin kata orang?
Begitu pulang umroh— bonyok ambil paket 10 hari di Mekkah, gue langsung menghubungi mereka untuk membicarakan perihal niat baik gue. Sebenernya anak-anak Manjiw gak ada yang tau kalo diem-diem gue udah lamaran resmi ke rumah Ody. Bukannya nggak menghargai mereka, cuma gue rasa, untuk yang satu ini cukup gue dan keluarga aja yang perlu dilibatkan. Soalnya gue yakin, kalau gue nikah nanti, mereka pasti bakalan jadi orang yang direpotkan karena akan jadi garda paling depan.
"Akad sama resepsinya mau dimana? Harus segera disiapkan kalau mau cepat-cepat." Ibu itu tipe orang yang good planner, harus jelas mau apa supaya yang dia lakukan bisa berjalan lancar.
Gue dan Ody saling pandang, sebetulnya kita berdua nggak punya wedding dream apapun selain pengen segera halal. "Hm, Ody gimana?"
"Nggak usah deh, bu." Bukan cuma gue aja yang kaget, tapi semuanya. "Ody minta acara sederhana di rumah aja, ngundang dua keluarga, sama kerabat deket."
"Tapi kan ... "
"Ya sudah bu, kalau maunya begini kita gak bisa maksa." Mama yang menengahi, meskipun dia juga keliatan sedikit kecewa karena keputusan anaknya.
Lalu semenjak pembicaraan itu, persiapan bertahap dilakukan. Gue yang emang sibuk sama kerjaan menyerahkan semuanya pada Ody, Ibu dan juga Mama. Pokoknya dalam dua minggu ini, gue pengen puas-puasin ketemu sama Manjiw dulu. Kalau ngaca sama Pram dan Mada, waktu mereka untuk kumpul seringkali tersita sehingga gue yakin gue pun kelak akan begitu.
Nggak nyangka ya kalau gue akan sampai pada fase ini.
Fase dimana gue harus melepaskan beberapa hal untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Fase dimana gue tiba-tiba merasa gak siap buat kehilangan semua kesendirian. Dan fase dimana ... gue akan tumbuh menjadi manusia berbeda, manusia yang memiliki tanggung jawab lebih terhadap orang yang nantinya akan gue miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIGA BELAS JIWA
FanfictionCerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan menemukan eratnya persahabatan, pengabdian terhadap sesama, hingga tujuan-tujuan kenapa mereka harus terlahir ke dunia. • All 13 members of Sev...