1.3 Joshua

19.1K 3K 599
                                    

Joshua

"Di nomor enam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Di nomor enam."

Bermodalkan siapa gue di rumah sakit ini, gue memaksa masuk kepada petugas keamanan meski jam besuk High Care Unit RSHS telah berakhir lima belas menit lalu. Suasana ruangan bersekat kaca yang dipenuhi oleh alat-alat kesehatan ini terkesan hening, bunyi yang ditimbulkan oleh patient monitor yang menunjukkan denyut jantung, irama jantung, tekanan darah, frekuensi pernapasan dan konsentrasi oksigen dalam darah menjadi satu-satunya suara yang mendominasi seisi ruangan berbau segar ini. Beberapa sapaan gue dapatkan dari perawat yang berjaga, salah satunya ada yang bertanya apakah gue punya jadwal visit dadakan atau bagaimana namun hanya gue jawab dengan sebuah senyuman saja.

"Keluarganya?"

"Mungkin udah di ruang tunggu keluarga." Gue mendesis pelan kepada Johan yang saat itu ikut menaikkan maskernya juga.

"Maksud gue, keluarganya masih ada?"

Sesaat gue terdiam, kemudian menghampiri meja perawat untuk menanyakan berapa banyak orang yang menjenguk ayah Johan selama jam besuk berlangsung. Tau apa jawabannya? Hanya dua. Dan saat gue menyampaikan hal itu kepada Johan, gue bisa tahu kalau sekarang laki-laki itu tengah menyeringai miris dibalik masker yang menutupi hampir separuh wajahnya.

"Lu ngomong pake bahasa Inggris dong, Jo, biar keren. Karma itu nyata. Coba lo omongin."

"Han, gak gitu anjir." Gue menegur. Gue gak tau sedalam apa luka Johan karena kelakuan ayahnya, tapi ini bukan saat yang tepat buat dia untuk mengejek keadaan. "Lo cuma dapet waktu sepuluh menit, gue bilang ke perawat kalau lo residen bedah syaraf dari RSAI."

"Anjing kok gua dikatain residen si?" Bukannya bergegas, Johan malah protes.

"Banyak omong lo, buruan masuk." Ucap gue lalu menarik pergelangan tangannya menuju ruang bersekat kaca dengan angka enam yang tertempel di pintu otomatis itu. Sesaat dia terdiam ketika kedua kakinya telah berhasil masuk kedalam ruangan. Tangannya masih silih bergesekan karena harus menggunakan cairan antiseptik atau handrub yang wajib digunakan sebelum bersentuhan dengan pasien. Gue mendahuluinya kemudian berdiri di sisi ranjang, sempat memeriksa patient monitor yang berdiri tegak di dekat kepala ranjang dan membandingkan denyut jantungnya dengan frekuensi pernapasannya.

"Kok dia gak sadar, Jo?"

Gue menggeleng pelan, "Gue gak tau, mungkin udah dikasih obat dan sekarang dia tidur."

"Tau gak, Jo? Saking lamanya gak ketemu sama dia, gue sampai lupa mukanya kayak apa." Ucapannya terdengar seperti guyonan sampai-sampai gue terkekeh pelan. "Gue gak bohong, dulu dia gak kayak gini. Maksud gue ... dia persis gue, tapi sekarang ... gak tau lah."

"Dia sakit, Han. Usianya juga udah gak muda, wajar kalau berubah."

Langkah Johan mendekat, dia agak membungkuk supaya bisa mendekatkan wajahnya dengan wajah ayahnya. Mungkin sekarang Johan berdoa, soalnya gue bisa mendengar dia melafalkan ayat-ayat dan permintaan supaya ayahnya disembuhkan. Tangannya terangkat, dia mengusap kepala ayahnya dengan pelan lalu menjauhkan wajahnya dari sana dan kembali berdiri tegak di tempatnya.

TIGA BELAS JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang