4.2 Johan

12.7K 2.3K 670
                                    

Johan

Gak pernah sekali pun gue berpikir akan menginjakkan kaki di rumah yang catnya mulai pudar ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gak pernah sekali pun gue berpikir akan menginjakkan kaki di rumah yang catnya mulai pudar ini.

Lebih dari sewindu lamanya gue tidak datang kemari, dan rupanya sudah banyak yang berubah dari tempat tinggal Allail Johan Rachmadi di masa kecilnya ini. Dulu rumah ini berdiri sendiri, punya lahan luas di kanan kiri, dan sekarang dia terjebak diantara bangunan kumuh di dalam sebuah gang sempit.

"Kata orang yang ini, bang."

Iya, gue tau, Ra. Sejauh apapun perubahannya, gue akan selalu tau kalau ini rumah gue, rumah ibu. Rumah yang menjadi saksi bisu gimana hancurnya hidup gue semenjak kedatangan perempuan itu. Rumah yang juga menjadi saksi bisu dimana gue menangis meraung-raung ketika mayat ibu terbujur kaku di hari kematiannya.

Dan gue gak sanggup.

Gue nggak sanggup masuk kesana, melihatnya pun gue enggan saking sakitnya kenangan yang pernah gue rajut didalamnya.

"Pulang aja lah kita, rumahnya udah gak ada."

"Bang," Kenapa sih setiap apa yang lo katakan selalu gue dengar? "Lo udah janji sama gue." katanya.

Tangan gue terkepal kuat, cara gue menatapnya benar-benar tidak dapat diterjemahkan. Pandangan gue terbuang asal, mungkin kalau ada orang yang lihat gimana wajah gue sekarang, mereka akan mengira bahwa gue sedang menjelma menjadi sosok lain yang bukan Johan. Sosok yang rapuh, yang hancur, yang berantakan, dan yang nggak bisa berdamai dengan kenyataan.

Telapak tangan gue yang dingin tiba-tiba terasa hangat ketika jemari Dara bergerak untuk menggenggamnya. "Ada gue, bang. Gue gak akan lepasin tangan lo, jadi lo masuk ya?" suruhnya.

Sebetulnya gue tidak ingin menunjukkan sisi dari diri gue yang ini kepada Dara. Gue malu, kita udah cukup timpang, dia terlalu menerima gue sampai gue merasa nggak bisa jadi sesuatu yang lebih buat dia. Ketika gue hendak menariknya untuk pergi, mendadak saja pintu yang papan tripleknya sudah memiliki lubang itu terbuka, menampilkan seorang perempuan yang beberapa waktu lalu gue temui di ruang tunggu HCU RSHS.

"Johan." Sapanya, "Kenapa nggak masuk?"

Sekarang aja lo nyebut nama gue dengan bener, padahal dulu lo selalu manggil gue anak setan.

"Assalamualaikum tante." Dara yang ngomong, "Kita boleh masuk, tan?"

"Iya, masuk aja, ayo, ayo." Sambutnya. Langkah gue terseret, jinjingan goodie bag besar berisi makanan dan obat-obatan gue remas dengan kuat. Perabotan yang ada didalam sini masih terlihat sama, bahkan ada foto gue ketika kecil di bawah jam dinding ruang tengah yang tak pernah berpindah tempat. Sama. Benar-benar sama. Sampai gue bisa melihat beberapa cuplikan menyakitkan di beberapa sudut ruangan.

"Han."

Tergelar tempat tidur di ruang tengah, dengan Ayah yang terbaring diatasnya. Gak ada yang bergerak kecuali leher dan bola matanya. Mati-matian gue menahan tangisan dan amarah yang mendadak saja mencuat.

TIGA BELAS JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang