4.6 Dipta

11.6K 2.1K 460
                                    

Dipta

Manusia itu selalu punya standar bahagia yang ingin mereka capai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manusia itu selalu punya standar bahagia yang ingin mereka capai. Meski tidak pernah melakukan survey sebelumnya, namun hanya dari gambaran kasar saja gue sangat yakin bahwa 70% manusia di dunia menginginkan hidup yang cukup secara materiil untuk bisa bahagia. Sementara 30% lagi ingin hidup yang biasa-biasa saja karena telah tahu gimana capeknya menjadi bagian dari si 70% tersebut.

Kaya nggak berarti bahagia, punya keluarga yang lengkap juga belum berarti bahagia. Beberapa orang malah memimpikan kesederhanaan, hidup apa adanya supaya bisa menikmati apa yang mereka panggil sebagai ketenangan. Setidaknya, hal itulah yang bisa gue simpulkan setelah mempelajari orang-orang yang ada di sekeliling gue.

Kalau gue terlahir sebagai orang yang suka mengeluh, mungkin gue akan jadi satu-satunya orang yang berteriak paling kencang karena merasa dijahati oleh semesta. Sepertinya gue pernah bilang, bahwa hal yang paling gue benci di dunia ini adalah kehilangan. Apalagi, gue sudah dua kali ditinggalkan. Namun alih-alih mengeluh dan mengasihani diri, gue lebih suka menjaga apa yang saat ini gue punya supaya gue bisa mengurangi resiko dari si kehilangan.

Lagi, gue selalu percaya bahwa ketika gue kehilangan satu orang, maka gue akan bertemu dengan banyak sekali orang yang akan menjadi penguat dan penyembuh dari luka yang gue dapat. Ada atau gak ada, hidup harus terus berjalan. Dan gue juga selalu terngiang oleh satu perkataan; bahwa apa yang telah diambil Tuhan tidak mungkin untuk dikembalikan.

Kuncinya? Ikhlas, hanya ikhlas.

Itu aja.

Gue juga percaya, saat kita jatuh dan terpuruk oleh keadaan, akan selalu ada orang-orang yang bisa membantu kita untuk bangkit dan kembali bangun. Akan ada tangan-tangan yang terulur untuk memberikan bantuan dan harapan, dan akan ada tangan-tangan yang akan membantu kita untuk bisa berjalan seperti sedia kala walau tanpa ada lagi mereka yang sudah pulang.

Dan gue punya orang-orang itu, gue punya tangan-tangan itu. Malah gue gak pernah menyangka bahwa kita akan berprogress bersama-sama. Gue tidak menduga bahwa gue akan sembuh oleh bantuan mereka. Dan lagi, gue juga punya dia. Dia yang gue tebak hanya akan datang sebentar namun ternyata malah tinggal untuk menetap.

"Pi, ini Freya."

Gue nggak tau alasan apa yang membuat gue datang ke pemakaman pahlawan ini selain karena gue merindukan Papi. Mungkin ada alasan lain, yang kaitannya dengan janji gue untuk mengenalkan seseorang kepadanya beberapa bulan lalu.

"Dipta mau nikah sama Freya."

Entah kapan tepatnya, tapi gue sudah semantap itu untuk menjadikan Freya istri walau baru sekedar niat di hati.

"Dipta masih akan jaga Mami kok, cuma mungkin ... orang yang harus Dipta jaga nambah satu, Freya." Gue menaburkan kelopak bunga mawar yang gue beli di perjalanan kemari, "Dipta cuma mau kenalin Papi ke Freya, ke calon menantu Papi. Nanti kapan-kapan, Dipta kesini lagi, mungkin sama cucu Papi."

TIGA BELAS JIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang