"Rasa benci terlahir dari rasa sayang yang tak di hargai.."
****
Masih menggenggam ponsel miliknya, Davira berniat keluar dari kantin sebelum itu ia menghapus nomor cowok asing barusan.
Pikirnya cowok asing itu hanya mengerjainya, ia tidak ingin terlalu mengambil pusing kejadian tersebut, Davira memutuskan untuk keluar dari kantin karena sekarang tempat itu mulai ramai.
Sebelum dirinya melangkah keluar dari kantin lagi-lagi Davira mendapati beberapa murid menatap dirinya, karena terlalu malas dengan hal tersebut akhirnya Davira mempercepat langkahnya keluar dari kantin itu.
Davira yakin tidak ada yang salah pada dirinya, ia juga memakai seragam yang sama dengan yang lain, tetapi semuanya memandang dirinya seakan ia berbuat kesalahan, memandang Davira seolah dirinya adalah orang aneh. Sudahlah ia terlalu malas memikirkannya.
Sebenarnya peserta didik baru sudah di perbolehkan pulang, hari ini memang hanya upacara penyambutan saja, besok baru akan diberitahukan dimana letak kelas mereka.
Davira yang memang sendari tadi ingin cepat sampai kerumahnya-pun memilih pulang.
Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada mamanya.Davira:
mama dimana?, bisa jemput vira gak?.Menunggu balasan dari mamanya memang sudah sangat biasa, mamanya adalah sosok perempuan pekerja keras ia sangat sibuk dengan pekerjaannya membuat Davira sering kali merasa kesepian.
kalau papanya? Dia rasa mereka mirip, hanya saja untuk bertemu dengan papanya lebih sulit dibandingkan mamanya, Davira sempat merasa kesal dengan kedua orang tuanya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya itu, namun ketika ia sudah protes mamanya akan selalu menceramai dirinya, hal itu yang membuat Davira lebih memilih diam.
Davira melangkah kegerbang depan sekolah, sembari menunggu. Ia melihat, persis disebrang jalan segerombolan cowok-cowok berpakaian putih abu-abu sedang berada di warung depan sekolah.
Entah apa yang mereka lalukan, ada yang sekedar mengobrol sambil tertawa, ada juga yang sedang asik menyantap makanannya, sebagian lagi sedang merokok, termasuk lelaki di ujung sana.
Davira tidak yakin, tetapi lelaki itu melihat kearah tempatnya berdiri sekarang, ia menyerngit bingung sebab lelaki itu memandangnya dengan tatapan yang tidak Davira tahu apa artinya.
Sepertinya ia tidak asing dengan lelaki itu dilihat dari sepatu coklat yang sangat mencolok yang lelaki itu kenakan tetapi ia lupa kapan dia melihatnya.
Davira melihat sekeliling, dan menoleh kebelakang, ia yakin hanya dirinya berdiri di sini, Davira ingin melirik kembali ketempat cowok tadi untuk memastikan, sebelum ponselnya berbunyi menandakan satu pesan masuk.
Langsung saja Davira melihat ponselnya, ia yakin itu pesan dari mamanya.
Mama:
mama dikantor Vir...kayaknya mama gak bisa jemput..kamu pulang sendiri gakpapa?Davira menghela nafas sesaat, ia jadi tidak enak hati kepada mamanya, walaupun ia tahu jawaban mamanya akan tetap sama, pasti mamanya lagi banyak kerjaan di kantor, mau tidak mau ia pulang sendiri.
Davira:
Yaudah ma, aku pulang sendiri gakpapa.Setelah mengirim pesan tersebut Davira melirik jam dipergelangan tangannya, melirik warung di depan sekolah, yang ia lihat warung itu sudah lumayan sepi, berbanding terbalik dengan yang tadi. Bahkan lelaki di ujungpun sudah tidak ada, ia tidak terlalu mempusingkan, Davira sekarang bingung sendiri, angkutan umum jarang sekali lewat mengingat hari mulai sore lantas bagaimana dirinya bisa pulang.
"Jam segini, bus masih lewat gak yah?
gumamnya sambil melihat jam di pergelangan tangannya.••••
"Ravin, sini kamu!, jangan pulang sebelum ibu suruh!"
Bu tikce berteriak sambil menghampiri lelaki yang sudah bersiap menaiki motor ninja besarnya.
Yang di panggil hanya bersikap santai, sudah siap memakai helm, tanpa memerdulikan teriakan dari gurunya.
"RAVINDRA ANDARU!" Bu tikce datang, dan berdiri di samping motor miliknya.
"Kamu ya!, dengar tidak ibu bilang apa?!"
Cowok itu berdecak malas, merasa jengkel tetapi ia hanya diam memandang guru di sebelahnya ini.
"Kenapa kamu bolos upacara tadi?!, ibu tidak pernah yah ajar murid ibu untuk seenaknya bolos tidak ikut upacara!" bu Tikce berkata dengan nada tinggi tetapi tidak membuat murid didepannya terpengaruh, ia hanya diam, terlalu malas meladeni.
"Jangan karena ayah kamu yang punya pengaruh terhadap sekolah ini jadi kamu seenaknya!" Bu Tikce berkata dengan sarkatis tanpa memerdulikan lawan bicaranya.
Ia menatap dengan rahang yang mulai mengeras mendengar kata "Ayah" baru saja ia dengar, air mukanya mulai berubah bertanda emosinya sudah sampai di ubun-ubun, ia berusaha membendung kalimat kasar yang nyaris meluncur.
"Saya tidak punya ayah!" ujar Andaru membuat bu Tikce kaget sekaligus naik darah, mengingat murid didepannya yang berkata demikian.
"Jaga ucapan kamu Ravin!" sahut Bu Tikce dengan nada yang semakin meninggi.
"Jangan karena ibu guru, ibu bisa seenaknya ngurusin keluarga saya!" balasnya dengan nada sengit.
Guru itu menatap murid didepannya sambil menggeleng pelan "Kamu ini siswa ibu, jelas ibu harus ikut andil mengenai kamu, selama kamu masih berstatus murid SMA Sanjaya ibu tidak bisa hanya menutup mata melihat kamu di jalan yang salah" nada suara Bu Tikce mulai merendah bermaksud ingin menasehati.
"Ravin, kamu harus berubah, jangan seperti ini, sekarang ibu bolehkan kamu pulang, tapi ibu harap kamu tidak mengulanginya kembali." Lanjutnya.
"Ibu ngerasa diri ibu yang paling benar, nyatanya ibu tidak tahu apa-apa, ibu bilang tidak ingin menutup mata melihat murid ibu dijalan yang salah, terus ibu tahu tidak keluarga saya sendiri, orangtua saya sendiri menutup mata membiarkan saya seperti ini bahkan orang yang paling dekat sama saya saja tidak peduli bu" Ia berkata demikian panjang membuat bu Tikce terdiam dengan pandangan mata yang berubah menatap murid didepannya.
Lelaki tersebut memakai helmnya dan menyalakan motornya, bersiap keluar meninggalkan sekolah yang mulai sepi.
Tidak ada yang bisa ia harapkan, semuanya berkomentar hanya memandang dari satu sisi, dirinya tidak butuh simpati dari orang-orang ia terlalu menutup diri dari semuanya.
••••
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigmatic
Teen FictionDavira sekar, gadis cuek dengan parasnya yang manis tidak begitu peduli dengan sekitarnya tetapi membuat heboh satu sekolah. Kedatangannya di SMA Sanjaya membuat sang pentolan sekolah dengan sifatnya yang dingin, Meliriknya. Dia, Dewa Kananta merasa...