Matahari yang bersinar redup bersinar menerangi sore hari yang melelahkan. Nezuko dan Shirazumi tertidur seperti sudah lama tak merasakan futon yang empuk.
Baru beberapa menit Tanjiro dan yang lainnya sampai ke rumah Sakonji, kini Tanjiro disuruh untuk mengikuti lagi Sakonji hingga ke atas gunung.
Wajah tanjiro yang penuh keringat dan kelelahan kini semakin memucat. Padahal baru saja dia berlari sekuat tenaga, kini masih harus mendaki gunung yang lebih tinggi. Kalau saja Shirazumi melihat wajahnya, dia pasti akan tertawa. Tanjiro memang ahlinya membuat ekspresi wajah yang aneh-aneh.
.
.
.
Tanjiro mengikuti Sakonji menaiki gunung. Kini pria itu tidak berlari. mereka berjalan untuk menaiki gunung.
Semakin tinggi mereka mendaki, langit semakin gelap. bahkan kabut putih pun menghiasi pemandangan sekitar.
Saat mereka sudah berada di bagian gunung yang cukup tinggi, Sakonji berhenti berjalan. Dia melihat ke arah Tanjiro yang hampir kehabisan nafas.
Wajah yang pucat, mata yang merah dan nafas yang memburu. Itulah keadaan Tanjiro saat ini. Dia pun merasa kalau otot-ototnya seperti ditarik. Singkatnya, Tanjiro yang sekarang sangatlah merasa lelah.
Berbeda dengan Sakonji yang terlihat hampir tidak merasa lelah sama sekali.
"Mulai dari sini kau harus menuju kaki gunung dan kembali ke rumahku. Batas waktunya sampai sebelum fajar." Sakonji berkata singkat pada Tanjiro sebelum akhirnya tubuhnya tak terlihat ditelan kabut.
Sakonji meninggalkan Tanjiro sendirian di gunung yang penuh kabut. Dia kembali menuju rumahnya untuk menunggu Tanjiro. Gerakannya yang sangat lembut membuat Tanjiro sama sekali tak sadar, kapan dan lewat mana Sakonji pergi.
Tanjiro merasa kalau ujian yang diberikan Sakonji terlalu mudah. Dia berpikir kalau Sakonji mengira dirinya akan tersesat di gunung yang berkabut inin. Dengan penciumannya, dia bisa mengikuti bau Sakonji sehingga tak perlu takut tersesat, itulah yang dipikirkannya.
Tapi kenyataannya tak semudah itu.
Baru berjalan beberapa langkah, Tanjiro merasa kalau kakinya menyentuh sesuatu. Ternyata itu sebuah tali tambang. Tali itu mengaktifkan jebakan berupa lemparan batu-batu yang langsung mengenai tubuhnya.
Saat itu Tanjiro menyadarinya. Menuruni gunung ini tak semudah yang dia bayangkan. Jalan pulang menuju kaki gunung dipenuhi jebakan yang dibuat oleh sakonji.
Kebanyakan jebakan itu sudah berusia agak lama. Ada yang masih kuat, ada juga yang sudah mulai rapuh. Sakoni tidak membuat jebakan-jebakan itu khusus untuk Tanjiro. Karena Sakonji adalah seorang pelatih, jebakan-jebakan itu juga digunakan olehnya untuk menguji murid dan calon muridnya yang lain.
.
.
.
Tanjiro berlari sambil berusaha menghindari jebakan-jebakan itu. Tak semua bisa dia hindari. Tubuhnya penuh luka. Udara di gunung yang sangat tipis pun mempengaruhi gerak refleks Tanjiro. Dirinya memang tinggal di gunung, tapi udara di gunung Sagiri lebih tipis dibandingan dengan di gunung tempatnya tinggal.
Tanjiro berusaha mengatur nafasnya, berusaha agar tidak hilang kesadaran karena kekurangan oksigen. Kepalanya pusing, dia merasa bisa roboh kapan saja.
Tapi dengan tekad yang dia miliki, dia terus maju. Dengan mengandalkan penciumannya, Tanjiro mencaru bau dari jebakan-jebakan itu. Jebakan yang dibuat oleh manusia memiliki bau yang berbeda, dan Tanjiro berusaha menghindarinya. Hanay dengan menyadari itu saja, tubuhnya bergerak lebih tangkas dibandingkan sebelumnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/202388016-288-k235551.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Thousand of Tears
Fanfic#1 In DEMONSLAYER (Oktober 2020, Bahasa Indonesia) ~Alur cerita ngikutin komik dengan penambahan OC dan sedikit (atau banyak) perubahan jalur~ Kamado Shirazumi adalah Anak pertama dari 7 bersaudara.Adik laki-lakinya yang bernama Tanjiro menjadi kepa...