65. Surat

48 1 0
                                    

Malam itu aku menulis surat, disertai cap tangan. Sendirian di dalam kamar, duduk di pojokan dengan guratan-guratan pena malam-malam. Tidak ada siapa-siapa, suasana setentram hujan yang datang.

Beberapa meter di samping kananku terdengar alunan musik klasik yang mengalun pelan seperti setiap tarikan nada disertai ucapan permisi yang diam-diam masuk ke dalam telinga.

Teduh.

Semilir angin menyusup dari celah-celah dinding kamar perlahan menghempas ke dalam tulang.

Dear, Tuan Malam

Biasa menyebutnya Taun Malam, aku mulai menulis sepenggal.

Kita sudah banyak mengarungi ruang dalam samudera kehidupan. Sudah lama bersama dalam ketertarikan pada dulu kala. Bahkan banyak rindu yang tertuai...

Memulai paragraf bukan masalah yang mudah, aku perlu mengingat, aku perlu fokus pada satu inti yang ingin kembali kuangkat ke daratan. Mendeskripsikannya pelan-pelan agar kamu paham.

Padahal sejatinya tidak mudah mendorong kenangan di masa lalu agar keluar dalam bilik rindu. Tapi aku usahakan untuk kamu.

Aku mohon, izinkan aku menulis ini tanpa sedikitpun mengurangi hormat atau maaf membuatmu kembali teringat. Tentang kita, tentang semua kerinduan yang sudah lama aku udarakan.

Aku menekuninya hingga larut. Surat ini harus tuntas. Namun ketika aku sedang menulis pada paragraf berikutnya, ponsel berdering dengan nada lain. Musik terhenti diganti melodi serupa hati.

"Halo?"

"Ada apa?"

"Masih menulis?"

"He'em."

"Bisa disudahi dulu? Paduka menolak Tuan Putri tidur pada malam yang larut."

Aku tersenyum.

"Gak bisa, aku harus selesaiin ini semua. Gimana dong?"

"Paduka tidak terima alasan apapun."

"Nyebelin!"

"Tapi sayang. Gitu kan maksudnya?"

"Gak!"

"Sepertinya Tuan Putri ngambek. Besok Paduka traktir es-krim kalau gitu."

Dasar Paduka! Paling bisa merayunya!

"Emm.... Dipikir dulu deh."

"Waktu ada berpikir hanya tiga detik. Satu... Dua... Tiga. Oke terima kasih. Es-krim tidak jadi."

"Ih! Gak bisa gitu dong. Curang."

"Aku belikan tapi kamu istirahat sekarang ya."

"Nanggung itu tuh."

"Kan bisa dilanjut besok."

"Maunya sekarang."

"Ok."

Dia pasti kesal. Aku memang dilarang tidur hingga larut malam, katanya Paduka tidak suka melihatku punya mata panda esok harinya. Haha, tidak dia hanya bergurau.

"Yaudah, iya. Aku mau istirahat sekarang."

"Nah gitu dong. Besok pagi tinggal siap-siap aja."

"Siap-siap kemana?"

"Rahasia dong. Keponya nanti aja, gih sekarang tidur, istirahat yang cukup."

"O... ke! Sampai besok."

Panggilan diakhiri, aku pun menutup semua buku. Surat ini akan kusambung esok.

Rinai makin terdengar. Hujan makin lebat. Rindu makin deras. Kenang mulai turut menghanyutkan perasaan.

Malam itu aku tidur dengan perasaan yang tenang.

Rajutan Kalimat RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang