Secangkir teh hangat kuletakan di pangkuan. Semilir angin pagi, basahan embun dalam daun, kabut pagi yang masih menyelimuti langit, lengkap menemani pagiku hari ini.
Akhir pekan yang biasa dilakukan manusia pada umumnya; berkopi, pesta teh, atau sarapan sederhana di luar balkon, sederhana saja. Namun, nikmat terasa bila beramai-ramai menikmati sarapan bersama di akhir pekan.
Pagi ini, kami menikmati sarapan bersama di salah satu warung eceran pinggir jalan. Meski sederhana, tak terlalu mewah--atau bahkan jauh dari kata megah, selama bisa bersama dan melepas rindu, kami siap. Tak masalah.
Semua sibuk dengan obrolan masing-masing. Tak jarang aku pun turut menimpali. Sesekali kami tertawa, sesekali kami berderai. Indahnya hidup bila bersyukur. Mencoba menerima semua yang telah Tuhan anugrahkan. Menikati setiap kebersamaan yang jarang sekali dilakukan.
"Ah, ya ampun, jadi keinget sarapan di kantin sekolah, gue." Salah satu diantara kami bersuara.
Serempak, ingatan kami tertarik mundur menuju era sembilan puluhan, zamannya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Yang lainnya ikut membenarkan.
Seketika ingatanku pun ikut melaju. Bergerak mundur menuju memoria-memoria kisah klasik yang tak pernah bosan kuingat kembali. Ada banyak beragam kisah tanpa judul tertera di sana. Aku tersenyum kecil. Mereka mentertawakan masa-masa kejahilan penuh kerinduan.
Ada satu dari sekian juta kisah dalam memori otaku. Lebih dramatis dan lebih menggelikan. Tentang kamu, salah satunya. Tentang bagaimana mataku selalu menemukan sosokmu meski di keramaian. Tentang bagaimana kita selalu tertawa tak jelas, kadang mentertawakan teman di kelas. Atau kadang mentertawakan kebodohan diri sendiri. Dan kini aku rindu sekali.
Ah, ingatanku terlalu jauh. Bagaimana mungkin aku rindu pada seseorang yang sudah jelas-jelas melukaiku, seorang yang sudah jelas-jelas pergi meninggalkanku. Ah, tapi tetap saja! Aku lemah bila berontak dengan rindu.
"Woy, ngelamun aja lo." Seseorang lainnya justru menepuk pundakku.
Aku terkesiap, lalu mengerjapkan mata berulang-ulang,"gak lucu ah! Kaget tau!"
Ketika hendak mengambil teh ku yang berada tak jauh di depanku, tiba-tiba saja mataku melirikmu sekilas. Dan, begitu pula denganmu, kamu membalas tatapan mataku.
Ingin tersenyum, namun malu. Ingin membuang muka, tetapi mataku sudah terperosok jauh dalam mata teduh itu. Aku tak bisa berdelik. Aku tak bisa tak acuh. Mataku terkunci dalam pandangmu.
Tetapi tunggu!
Tunggu, tunggu sebentar!
Sesuatu membisikanku! Mengatakan bahwa ada hal yang ingin sekali kamu katakan. Aku tahu itu. Matamu tak pernah berbohong.
Ayo katakan!
Ayo katakan kamu merindukan ku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rajutan Kalimat Rindu
ChickLitPada setiap kata yang kurangkai dalam catatan penuh kerinduan ini, entah mengapa ada banyak sekali "kamu" di dalamnya. Bagaimana aku dapat menulis sebanyak itu pun aku tak paham. Bagaimana rindu dapat hadir dalam setiap bayang-bayangmu yang semu pun...