Cilok enam belas

9.2K 972 128
                                    

Satu minggu. Adalah waktu yang diberikan oleh tante Inggrid. Pandu dan Aden harus bisa mengumpulkan uang sejumlah lima puluh juta dalam waktu secapaitu. Sebenarnya Aden merasa tidak yakin akan bisa mendapatkan uang itu. Hampir semalaman ia tidak bisa tidur karena kepikiran.

Kadang pikiran labil datang dengan sendirinya. Aden membayangkan kalau ia menerima tawaran wanita itu, pasti ia akan mendapatkan banyak uang dan tidak harus mengganti rugi baju tante Inggrid. Tapi nasehat dari Dadang dan juga Pandu, membuat laki-laki itu harus menghela napas.

Selain itu sifat tante Inggrid membuat Aden bergidig merinding dan semakin malas menerima tawaran itu.

Tidur larut malam membuat Aden terlihat lesu pagi ini. Wajahnya tampak tidak bersemangat saat melayani anak-anak yang membeli ciloknya.

Pandu baru saja sampai di pintu gerbang sekolah. Hari itu ia berangkat sekolah tidak diantar oleh sopir pribadi, melainkan membawa motor Lukman yang belum ia kembalikan. Setelah memarkirkan motor, Pandu berjalan santi mendekati Aden, sambil merapihkan di sebelah pundaknya.

Aden dan Pandu saling senyum, saat pandangan keduanya bertemu.

Melihat Aden sedang sibuk melayani pembeli, Pandu langsung mengambil kursi plastik milik Aden dan duduk di dekat laki-laki itu. Pandu mengambil HP untuk sekedar menunggu Aden, sambil sesekali ia memperhatikan kesibukannya.

Tidak menunggu lama, Aden sudah selesai melayani anak-anak sekolah yang membeli ciloknya. Ia berjalan mendekati Pandu, kemudian menjatuhkan pantatnya di atas rumput, di dekat Pandu yang sedang duduk di kursinya. Wajahnya datar tanpa ekspresi menatap Pandu yang juga sedang menatapnya.

"Kok loyo amat?" ucap Pandu. Ia bisa melihat wajah Aden yang sedang tidak bersemangat.

Aden menarik kedua ujung bibirnya, tersenyum tipis, "nggak bisa tidur aku, semalaman," jelas laki-laki itu.

"Kenapa?"

"Kepikiran," sahut Aden. Kemudian ia menghela napas guna melegakan hatinya. Tatapan matanya datar menatap Pandu. "Satu minggu." Ia merasa putus asa meskipun Pandu akan membantunya.

"Gue udah bilang, gue bakal bantu. Lu nggak usah putus asa gitu." Pandu tersenyum simpul memberikan semangat buat Aden. "Dari pada ngelamun, mending lu pikirin tempat di mana kita bakal ngekos."

"Apa?" Aden tersentak. Senyumnya langsung mengembang. "Kamu mau kos bareng aku?" Ucapnya seolah tidak percaya.

Pandu menjawabnya dengan mengangguk sambil tersenyum. "Gue udah bilang sama nyokap gue, katanya nggak papa kalau cuma satu bulan kos."

Meski mereka hanya punya waktu satu minggu, tapi jarang sekali kos-kosan yang menerima anak kos untuk waktu sesingkat itu. Minimal satu bulan. Lalu dengan memaksa ibunya dan memberi alasan tugas sekolah, akhirnya ibu Veronica mengijinkan. Itung-itung latihan mandiri. Tapi tetap saja banyak larangan dan nasehat yang harus Pandu penuhi.

"Lu sendiri gimana? Bolehkan sama keluarga lu?" Imbuh Pandu bertanya.

"Aku udah bilang sama teteh, sama aa, biar enggak jauh berangkat jualannya. Nggak papa katanya, tapi nanti kalo enggak betah suru balik lagi," jelas Aden.

"Bagus deh kalo gitu, berarti kita tinggal pikirin nyari kosannya." Ucap Pandu. "Lu ada pandangan?"

"Ada, nggak jauh dari sekolahan, ke tempat pemotertan juga deket, tapi yaitu." Aden mengerutkan kening, ia tidak yakin orang sekaya Pandu akan suka dengan kos-kosan yang dimaksud olehnya.

"Tapi kenapa?" Tanya Pandu.

"Tempatnya kecil, terus kamar mandi sama dapur barengan ama yang lain. Kamarnya juga cuma satu ruangan, jadi tidurnya barengan. Kayaknya mah, kamu enggak akan suka." Jelas Aden.

CASM {Mamang Cilok}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang