Cilok tiga puluh tujuh

8.5K 859 181
                                    

~selamat membaca~

Sejak ibu Veronica mengatakan jika Pandu sudah benar-benar sehat, atau setelah melakukan transplantasi ginjal, lalu mereka akan pindah ke luar negeri, itu membuat Aden seperti tidak bersemangat menjalani hari-harinya. Aden menjadi takut jika hari itu akan tiba.

Kadang Aden berkipir, atau berharap agar Pandu tidak pernah mendapatkan pendonor ginjal. Tujuannya supaya ia bisa terus selalu bersama-sama dengan Pandu. Mau bagaimana lagi? Aden sudah terlanjur sayang sama Pandu. Sepertinya Aden tidak akan sanggup jika harus berpisah dengan Pandu.

Tapi di sisi lain, Aden merasa tidak tega dengan keadaan Pandu, harus menjalani cuci darah dua kali dalam satu minggu supaya Pandu bisa tetap terlihat sehat. Aden tidak tega dengan keadaan Pandu yang selalu seperti itu.

Aden menginginkan supaya Pandu tetap sehat, tapi ia juga tidak ingin jika Pandu pergi keluar negeri. Nasehat dari ibu Veronica tempo hari juga membuat Aden merasa dilema.

Membuang napas gusar, Aden menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Tatapan matanya kosong, lurus ke arah buku yang ada di atas meja Sekolah.

"Lu kenapa?" Tegur Pandu saat ia menyadari jika Aden terlihat lesu. Tidak bersemangat.

"Eh... nggak papa," jawab Aden sedikit tersentak, lantaran Pandu memukul pelan pundaknya saat menegurnya.

"Ngelamun terus," ucap Pandu, "lu lagi ada masalah? Cerita ama gue."

"Nggak ada kok, aku cuma lagi pusing, waktu aku kan sempit, harus ngejar ketinggalan pelajaran. Ternyata loncat kelas repot juga ya." Jawab Aden tidak sepenuhnya berbohong. Tugas pelajaran yang diberikan kepada Aden memang lebih banyak dari murid lain. Jadi wajar saja jika ia merasa pusing lantaran pikirannya terbagi, antara pelajaran dengan masalah Pandu.

"Semangat dong, diem-diem kan lu pinter. Gue yakin lu pasti bisa. Semoga lu bisa dapet nilai bagus, naik ke kelas 12, trus bisa kuliah bareng sama gue," Pandu tersenyum nyengir, mengalirkan energi positive supaya Aden selalu semangat.

Tapi sayang, kata-kata kuliah membuat Aden kembali teringat dengan ucapan ibu Veronica. Yang ada kini malah Aden jadi tambah tidak bersemangat.

Apa mungkin mereka bisa kuliah bersama? Aden sih berharap nya seperti itu. Tapi, entahlah. Hanya waktu yang bisa menjawab.

Aden menoleh ke arah Pandu, ia memberikan senyum supaya Pandu tidak terlalu memikirkan perubahan sikapnya.

"Iya makasih ya." Ucap Aden.

"Hai... Den..."

Suara seorang cewek membuat Aden dan Pandu mengalihkan perhatian kepada sang pemilik suara tersebut. Keduanya menoleh ke arah cewek yang diketahui bernama Nina, sudah berdiri disamping Aden.

"Saya?" Ucap Aden heran.

"Iya elu, nama lu masih Aden kan? Apa udah ganti?" Canda Nina. "Atau nama lu sekarang jadi Parjo?"

Lelucon dari Nina sukses membuat bibir Aden tersenyum. Senyum nyengir yang sangat manis, membuat dara cantik bernama Nina itu hatinya kembali berdesir dan menghangat.

"Bisa aja kamu, ada apa emangnya?" Tanya Aden.

Nina tersenyum simpul, wajahnya tersipu saat Aden bertanya dengan tatapan mata teduhnya. Sebuah tatapan yang mampu menggetarkan hatinya. Nina meletakan benda berbentuk persegi yang sudah dibungkus rapih menggunakan kertas kado. Hiasan pita indah di atas kotak itu, meyakinkan jika itu benar-benar sudah disiapkan dengan baik. Selain itu ada kartu ucapan berbentuk hati di atas bungkusan kado tersebut.

"Sorry ya gue telat ngucapin selamat ulang tahun buat lu, kemaren-kemaren gue bingung mau kasih kado apa? Ini buat lu, mudah-mudahan lu suka." Ucap Nina setelah meletakan kado yang diperuntukan khusus untuk Aden di atas meja. Tepat di hadapan Aden.

CASM {Mamang Cilok}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang