Cilok empat puluh

8K 1.1K 171
                                    

~selamat membaca~

Aden sedang berada di dalam kamarnya, di rumah kontrakan milik Anis. Setelah diusir Pandu, Aden memutuskan untuk pulang ke rumah kontrakan kakaknya. Meski ibu Veronica sudah membujuknya agar tetap tinggal, tapi sepertinya Aden cukup tahu diri. Ia tidak mungkin tinggal di rumah seseorang, dimana pemilik rumahnya sendiri tidak mengharapkan keberadaanya di sana.

Oleh sebab itu, dengan terpaksa Aden memilih kembali ketempat asalnya, mengabaikan bujukan ibu Veronica.

Lagi pula percuma ia berusaha mati-matian membujuk Pandu supaya mau mendengarkannya. Sementara suasana hati Pandu sendiri sedang tidak baik. Hasilnya akan sia-sia, justru yang ia dapat malah makian, kata-kata pedas yang keluar dari mulut Pandu.

Aden merasa, jika ia terus membujuk Pandu, justru malah akan semakin memperkeruh keadaan.

Kembali ke tempat asal dan membiarkan Pandu tenang agar bisa berpikir jernih, adalah keputusan terbaik menurut Aden. Ia hanya bisa berharap, Pandu akan mau mendengarkan, dan mempercayainya, jika ia memang benar sudah sangat menyayanginya. Aden juga sudah sangat yakin, jika ia juga merasakan apa yang Pandu rasakan.

Sekarang Aden sudah tidak perduli lagi, jika yang ia sayangi mempunyai jenis kelamin yang sama dengannya. Mau bagaimana lagi? Aden sudah terlanjur basah, tidak ada alsan baginya untuk tidak menyayangi Pandu. Meskipun otaknya kadang berkata tidak, tapi perasaannya jauh lebih kuat mengalahkan logika.

Nggak ada salahnya mengikuti kata hati.

Aden menyandarkan punggungnya di tembok, kaki kiri ia selonjorkan bebas, sedangkan kaki kanannya ia tekuk. Pergelangan tangan kanan ia topangkan di atas lutut. Kepalanya mendongak, menempel di tembok, tatapan matanya kosong menatap plafon kamar.

Pikirannya melayang, mengingat masa-masa indah bersama Pandu. Bibirnya mengusung senyum, kala ia teringat saat Pandu selalu meminta agar ia mencium kening dan memeluknya saat akan tidur. Namun lambat laun senyumnya memudar, hingga akhirnya senyum itu benar-benar lenyap dari bibirnya, saat ia sadar jika Pandu tidak mungkin akan minta dipeluk lagi.

Aden menarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan. Ia melakukan itu berulang-berulang untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Tapi hasilnya nihil, dadanya masih terasa sangat sesak. Apalagi saat Aden teringat waktu pertamakali ia memukul Pandu, rasanya semakin sesak, Aden tidak berhenti merutuki dirinya sendiri akibat kebodohannya saat itu. Aden menyesal, sangat menyasal, ia geram dengan dirinya sendiri hingga jemarinya mengepal kuat, lalu.

Bugh!!

Aden memukul wajahnya, menghukum dirinya sendiri akibat kebodohannya karena pernah memukul Pandu. Aden meringis sambil telapak tangannya memegangi wajahnya yang ia pukul barusan, menikmati rasa sakit akibat pukulannya sendiri.

"Den."

Suara lembut Anis yang baru saja masuk ke kamar mengagetkan Aden. Ia buru-buru mengusap bola matanya yang berkaca agar tidak ketahuan jika ia sedang menangis.

"Kamu teh kenapa belum siap-siap?" Tegur Anis ketika ia sudah mendudukan dirinya di tepi kasur, di depan Aden. "Buruan siap-siap nanti kamu telat sekolahnya." Perintah Anis.

"Aden nggak mau sekolah teh," jawab Aden lesu.

"Jangan gitu Aden, tadi teh ibunya Pandu nelpon teteh, nanyain keadaan kamu. Katanya kamu harus tetep fokus sekolah." Ucap Anis, sambil tangannya mengusap lembut puncak kepala adiknya.

CASM {Mamang Cilok}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang