sembilan

11.6K 1.1K 427
                                    

...Jadi anak jangan terlalu polos kayak kertas, nanti jadi banyak orang yang kepingin coret-coret, terus disobek...

~Selamat Membaca~

Aden, Anis dan Dadang sedang duduk santai sambil menonton TV, di ruang depan. Mereka baru saja selesai menyiapkan keperluan Aden, untuk dibawa ke acara arisan ibu Veronica besok pagi. Dadang juga ikut membantu karena kondisi kesehatannya sudah membaik. Tapi pria itu masih belum boleh membawa motor, atau melakukan pekerjaan di luar rumah.

Aden menatap Anis dan Dadang secara bergantian. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi bingung mau memulainya dari mana.

"Ada apa Den?" Tanya Dadang.

Kebetulan pria itu menangkap basah saat Aden sedang menatap Anis dan dirinya. Dadang mengerutkan kening, sorot matanya lurus menatap mata Aden. dari raut wajah ia melihat Aden seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.

Aden tersenyum tipis. Membuang napas lega sebelum akhirnya ia menyampaikan maksudnya.

"Ini A'." Aden menjedah kalimatnya lantas berpikir sejenak. "Ada yang pingin Aden omongin, sama A'a sama teteh."

"Mau ngomong apa Den?" Sergah Anis.

Perhatian Aden reflek beralih ke Anis, lantas kembali menghela napas. Laki-laki bertubuh proposional itu masih bingung. Ia takut apa yang akan disampaikan bisa menjadi beban untuk kakaknya.

"Aden mau sekolah teh," ucap Aden akhirnya.

Pernyataan Aden membuat Anis dan Dadang saling berpandangan. Jujur mereka terkejut dengan apa yang dikatakan Aden barusan. Sebenarnya bukannya Anis dan Dadang tidak mau menyekolahkan adiknya. Tapi keadaanlah yang memaksa mereka untuk tidak melakukan itu. Mereka juga memikirkan masa depan Aden, mereka juga tahu kalau pendidikan itu sangat penting. Sepasang suami istri itu sadar betul, seharusnya anak seusia Aden membang belum saatnya untuk merasakan sulitnya mencari uang, belum waktunya merasakan kerasnya berjuang agar bisa bertahan hidup.

Yang dibutuhkan anak seusia Aden itu bermain, dan belajar untuk menata masa depannya. Tapi sekali lagi kondisi ekonomi yang membuat mereka merasa tidak mampu.

Anis merasa sedih dengan apa yang ia dengar barusan, hatinya merasa seperti disentil. "Den, bukanya teteh sama aa nggak mau sekolahin kamu, tapi tahu sendiri kan? Yusuf baru masuk SMP butuh biaya, Ela biar masih SD juga butuh biaya juga—"

Sebenarnya Aden anak nomor dua dari empat bersaodara, Anis anak pertama, sedangkan Yusuf dan Ela adiknya Aden. Terkadang orang tua mereka masih membutuhkan bantuan Anis untuk biaya sekola Yusuf dan ELa.

"...biaya hidup kita di Jakarta juga besar Den, belum lagi bayar angsuran motor."

Tuh kan, Anis jadi curhat. Aden juga sih, ia belum bisa merangkai kata-kata, gimana caranya ngomong supaya bisa diterima oleh kakaknya. Selain itu Anis juga main samber begitu saja. Tapi wajar sih, makhluk perempuan memang perasa, jadi membahas soal apa, merembatnya bisa kemana-mana.

"Apa kamu nggak kasihan sama A'a? apa kamu malu jualan cilok?"

"Bukan teh," potong Aden, "Aden nggak malu, kan tujuan Aden ke sini emang mau bantuin A'a sama teteh, Aden nggak pernah malu," jelas Aden supaya Anis tidak semakin melebar pembicaraannya.

"Iya teteh tau, tapi biaya sekolah itu besar Den, A'a sama teteh belum siap." Sebenarnya Anis tidak sampai hati bicara seperti itu sama Aden, ia juga bisa mengerti gimana perasaan adiknya. Tapi mau bagaimana lagi? ia benar-benar belum bisa, jadi Anis tidak ingin memaksakan kalau memang merasa tidak mampu.

CASM {Mamang Cilok}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang