BAB 9

572 41 0
                                    

Setiap malam Sabtu, Raisa dan sahabat-sahabatnya menginap di salah satu rumah mereka. Mereka menginap agar bisa menyiapkan makanan yang akan mereka jual di malam minggu.

Ya, mereka sudah mulai berjualan sejak kelas sepuluh.

Mereka berjualan agar tidak meminta uang dari orang tuanya dan untuk belajar berbisnis. Mereka mengumpulkan penghasilan dari berjualan agar bisa menyewa stan di lapangan dekat sekolah.

Mobil Aurel terparkir di garasi rumah Raisa. Raisa berhenti menutup pagar ketika melihat sebuah mobil masuk ke dalam rumah depan rumahnya.

Ia menyipitkan matanya melihat siapa yang mengemudi mobil itu. Raisa mendengus melihat tukang kebun rumah itu menutup pintu pagar.

Ia tidak bisa melihat seseorang yang turun dari mobil berwarna hitam itu. Raisa berjalan ke dalam rumah dengan pertanyaan yang muncul di kepalanya.

Raisa berjalan ke arah dapur. Ia melihat Bi Inem sedang menggoreng kentang. "Bi, kok rumahnya Om Bima ada mobil yang masuk?"

"Mungkin udah ada yang beli, Non."

"Emang dijual Bi?"

"Mungkin iya Non. Kan sayang rumah sebagus dan semewah itu nggak ada yang nempatin."

Pertanyaan yang muncul di kepala Raisa terjawab. Rumah itu sudah dijual dan seseorang yang ditunggunya tidak menepati janji.

Raisa menggeleng pelan dan menyingkirkan pikiran yang ada di kepalanya. Ia menyeka air yang tak sadar keluar dari mata indahnya.

"Dia pasti nepatin janjinya."

🐬🐬🐬

Jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Raisa dan sahabat-sahabatnya duduk lesehan di warung bakmi langganan mereka. Sambil melihat keramaian jalan yang masih ramai dengan kendaraan.

Raisa tersedak bakmi yang sedang ia makan. Orang yang menepuk pundak Raisa itu menyodorkan segelas teh hangat kepada Raisa. Ia tertawa melihat wajah Raisa yang memerah akibat tersedak.

"Kamu nggak liat aku lagi makan? Untung aku nggak mati gara-gara keselek!" ketus Raisa.

Rasha menahan tawanya. "Sorry, Ra."

"Kok kamu ada di sini, Sha?" tanya Aurel. "Rumah kamu daerah sini?"

"Iya. Kalian rumahnya daerah sini juga?"

"Nggak. Kita nginep di rumahnya Raisa," jawab Nur.

"Ngapain nginep?"

"Kepo banget sih," decak Raisa.

Rasha nyengir lebar. "Kan gue pengen tau semua tentang lo, Ra. Tentang makanan kesukaan lo, film kesukaan lo, lagu yang lo suka, warna kesukaan-"

"Berisik!" selak Raisa.

Rasha menopang dagu dengan tangan kirinya. Cowok itu menatap Raisa yang sedang makan.

"Aku udah bilang kan. Kalau orang lagi makan, jangan diliatin!"

Rasha tidak melepaskan pandangannya dari Raisa. "Gue juga udah bilang kan, kalau lo lagi makan lucu."

Rasha mengernyit melihat Raisa yang bertukar posisi duduk dengan Aurel. "Kok pindah, Ra?"

"Dia emang gitu, nggak suka diliatin segitunya Sha," bisik Aurel.

"Orangnya pemalu, tapi lama-lama malu-maluin," bisik May.

Rasha tersenyum dan mengangguk mengerti. Rasha berdiri ketika pesanannya sudah jadi. "Ya udah, gue duluan ya."

🐬🐬🐬

Raisa memberikan bakmi pesanan Bi Inem sebelum menyusul sahabat-sahabatnya ke kamarnya. Mereka sedang menyiapkan kasur tambahan di kamarnya. Raisa menggeleng mendengar keributan mereka ketika menaiki tangga.

Raisa membuka pintu kamar dan terkejut melihat kamarnya yang seperti kapal pecah. "Astaga kamar aku. Kamu cari apa sih, Rel?"

"Pompa kasur mana?" Aurel mencari di lemari Raisa. "Kok di lemari nggak ada?"

"Aku lupa. Mending kamu tiup aja deh Rel," Raisa terkekeh. Aurel melotot ke arah cewek itu. "Iya-iya aku cariin dulu."

Raisa membuka satu per satu kotak berukuran sedang di bawah televisi yang menempel di tembok. Ia menemukan pompa kasur dan memberikannya pada Aurel.

"Masih aja nyimpen mainan kamu pas kecil, Ra," ledek Nita yang ikut membuka kotak karena penasaran dengan isinya.

"Kan mainannya pangeran masa kecil, masa dibuang."

"Tumben pinter, Ly," ejek Raisa membuat Fily memutar bola matanya malas.

Raisa menghempaskan tubuhnya ke kasur. Kedua tangan yang Raisa rentangkan mengenai punggung dua sahabatnya yang sedang tidur telungkup. Ia tertawa mendengar pekikan mereka.

"Punggung aku!" Tiwi dan Nur mengusap punggungnya.

"Ra, rumah pangeranmu emang dijual ya? Kok ada yang main piano di kamar pangeranmu?" tanya Fily yang berada di balkon kamar Raisa.

Rumah Raisa dan rumah di depannya memiliki model yang sama. Kamar di lantai dua memiliki sebuah pintu kaca besar yang membatasi antara balkon dan kamar.

Raisa langsung bangun. Ia berjalan cepat menuju balkon. Tubuhnya sudah mengeluarkan keringat dingin. Jantungnya berdegup dengan kencang.

Raisa takut. Takut dengan apa yang sempat melintas dipikirannya memang benar.

Pangerannya tidak menepati janjinya.

"Eh iya, siapa tuh?" tanya Nur.

Raisa melemas. Ia berpegangan kuat pada pagar balkon. Sahabat-sahabatnya menahan Raisa yang hampir terduduk di lantai.

Setetes air mata meluncur dari mata indahnya. Mengalir melewati pipi membentuk aliran sungai kecil.

"Dia pasti nepatin janjinya," lirih Raisa.

Raisa berlari keluar kamar dan disusul sahabat-sahabatnya. Ia menuju ke arah rumah yang ada di depan rumahnya.

Sahabat-sahabat Raisa memilih menunggu di depan pintu pagar rumah cewek itu. Melihat dari kejauhan.

Raisa memencet bel yang tertempel di samping pagar berulang kali tanpa memberi jeda.

Raisa ingin tahu siapa orang itu. Semoga orang itu bisa membantu mempertemukannya dengan pangeran masa kecilnya.

Raisa menyeka air mata yang mengalir di pipinya sebelum berteriak kencang dengan bibir yang bergetar.

"Tolong, siapa pun yang ada di dalam, tolong keluar!"

Raisa berjongkok dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahu Raisa bergetar hebat.

Niat sahabat-sahabatnya mendekati Raisa terurung melihat pintu pagar yang perlahan terbuka.

Seorang cowok menepuk pelan bahu Raisa membuat cewek itu mendongakkan kepalanya.

🌿

Penasaran sama siapa yang beli rumah pangeran masa kecil Raisa?

Tunggu jawabannya di chapter berikutnya ya, wkwk

Terimakasih sudah membaca dan memberi suara☺

03-11-2019

Rasha dan Raisa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang