Raisa terkejut ternyata kedua orang tuanya yang mengetuk pintu. Mereka masuk ke dalam kamar anak tunggalnya. Lina duduk di tepi kasur di samping Raisa. Ia mengusap pipi kanan putrinya.
"Alea kenapa? Kok sembab?"
Raisa menggenggam erat topi berwarna navy itu. Ia tidak berani mendongak menatap kedua mata mamanya. "Nggak papa. Mama sama Papa ada apa nyamperin Alea?"
Lina menggenggam erat tangan Raisa dan mengusap punggung tangan anaknya menggunakan ibu jari. "Mama sama Papa mau ke luar negri," ucapnya to the point.
"Tumben bilang sama Alea. Biasanya langsung pergi," ucap Raisa jujur dan tegas karena berusaha menyembunyikan suaranya yang bergetar.
"Alea!"
"Pa," Lina menoleh sekilas ke arah suaminya yang memalingkan wajah ke arah lain. Lina melanjutkan ucapannya. "Mama sama papa perginya nggak seminggu dua minggu tapi sebulan. Nanti Alea nyari-"
Ucapan wanita berumur empat puluh tahun itu terhenti merasakan setetes air yang jatuh membasahi punggung tangannya. Kedua bahu putrinya bergetar hebat.
Kenapa hari ini Raisa terlalu banyak membuang air matanya? Kenapa ia tidak mampu mencegah air matanya untuk keluar lebih lama lagi?
Kenapa sekarang dadanya begitu sesak dan tenggorokannya begitu sulit mengeluarkan kata-kata?
"Alea nggak papa kok. Papa sama mama ngurus kerjaan aja sana. Alea nggak diurus."
Apa Raisa sekarang menjadi anak kurang ajar jika cewek itu menyampaikan kekesalannya selama sepuluh tahun ini kepada orang tuanya?
Biarkan saja hari ini Raisa menyampaikan kekesalannya agar orang tuanya tahu isi hati anak tunggalnya.
"Alea nggak papa kok ditinggal sendirian sampe berminggu-minggu. Alea nggak papa. Alea kan udah biasa dari kecil ditinggal kerja terus sama Papa sama Mama."
Bahu Raisa bergetar tambah hebat. "Rapor Alea aja yang ngambil selalu Bi Inem. Temen-temen Alea tahunya Alea ini anak pembantu, bukan anak bos perusahaan terbesar di kota ini."
"Alea udah biasa juga sarapan dan makan malam nggak ditemenin Papa sama Mama. Alea nggak papa."
Hati Lina sesak mendengar kekesalan yang selama ini dipendam oleh anak tunggalnya. Ia menoleh mendengar suaminya yang memanggil putrinya dengan nada suara tinggi.
"Alea!"
"Alea kesepian di rumah besar ini," jujur Raisa.
"Papa sama mama kerja buat penuhin kebutuhan Alea! Buat masa depan Alea!"
Raisa yang masih menunduk dalam mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, Alea tahu kok. Tapi Alea juga butuh perhatian Mama sama Papa. Papa sama Mama nggak mau ngerayain ulang tahun Alea lagi? Nggak usah acara besar-besaran, cukup kita bertiga aja Alea udah seneng banget."
"Alea ka-" ucapan Irfan berhenti ketika putri tunggalnya itu berlari keluar kamar.
"Alea!"
Irfan dan Lina berlari menuruni tangga. "Alea jangan pergi!"
Terlambat.
Mereka tidak bisa mencegah Raisa kabur dari rumah. Putri mereka sudah menghilang begitu cepat. Irfan memeluk istrinya yang menangis.
Irfan menyeka air mata yang mengalir melewati rahang tegasnya. "Maaf. Maaf," ucapnya berulang kali tepat di telinga istrinya.
Raisa menutup mulutnya menggunakan telapak tangan agar suara isakannya tidak terdengar. Ia mengusap kedua pipinya lalu berdiri.
Raisa keluar dari tempat persembunyiannya setelah memastikan kedua orang tuanya tidak di depan pagar.
Cewek itu memakai topi dan meluncur menggunakan skateboardnya menuju tempat yang membuatnya merasa tenang.
🐬🐬🐬
Rasha pergi ke rumah Raisa lagi. Ia ingin menjelaskan semuanya. Cewek itu salah paham terhadapnya. Rasha mengetuk pintu rumah Raisa. Rasha mengernyit melihat Bi Inem yang menangis. "Lho, bibi kenapa?"
"Non Raisa den, non Raisa kabur," jawab Bi Inem.
Lina berjalan cepat ke arah Rasha. "Rasha tolong cari Alea."
"Iya Tan, Rasha cari Alea. Tante jangan nangis. Rasha bakal bawa Alea pulang." Cowok itu melihat sepeda Raisa yang terparkir. "Om, Rasha boleh pinjem sepedanya?"
Rasha pergi menggunakan sepeda Raisa setelah mendapat anggukan dari Irfan. Cowok itu bingung, kemana kakinya harus mengayuh sepeda untuk menemukan Raisa?
🐬🐬🐬
Kedua mata Rasha menangkap sosok cewek yang sedang bermain bola basket di lapangan basket di sekitar komplek perumahannya. Rasha mengayuh sepeda mendekat ke arah lapangan basket.
Tebakannya benar. Cewek yang memakai kaos panjang merah maroon dan celana abu-abu di bawah lutut adalah Raisa.
Raisa sedang bermain seolah ada lawan yang harus ia hindari. Cewek itu melompat dan bola basket masuk ke dalam ring.
Raisa kembali berlari mendrible bola dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya terus menyeka air mata yang mengalir melewati pipi.
Rasha berjalan mendekat ke arah cewek yang memakai topi berwarna navy itu. "Lawan gue kalo berani!" tantangnya.
Raisa mengurungkan niatnya untuk melompat. Cewek itu tidak menolehkan kepalanya sedikit pun untuk melihat orang yang menantangnya barusan.
Raisa hanya mendengus lalu melompat untuk memasukkan bola ke dalam ring. Tangan kanan cewek itu yang tidak mendrible bola mengepal menahan amarah mendengar ucapan Rasha berikutnya.
"Pasti lo nggak berani lawan gue, kan? Takut kan lo?" tawa cowok itu berderai.
Raisa memilih untuk tidak memperdulikan cowok itu dan terus mendrible bola berwarna oranye itu hingga bolanya berpindah tangan. Tatapan Raisa tajam menatap cowok yang tersenyum lebar itu.
Rasha mendrible bolanya. "Rebut bolanya kalo bisa," cowok itu tersenyum jahil lalu menjulurkan lidah.
Raisa mendengus kesal dan membalikkan badan. Rasha melempar bola ke sembarang arah dan berlari mengejar Raisa.
🌿
Lanjut baca yuk😉
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasha dan Raisa✔
Teen FictionCOMPLETED Elang Series 1 Alea Raisa, akrab dipanggil Raisa. Salah satu murid berprestasi di sekolahannya, SMK Elang. Cewek cantik yang banyak disukai oleh teman-temannya. Sikapnya yang baik, ramah, dan jahil. Setiap ada seorang cowok yang melakukan...