Rasha berlari dan menarik tangan cewek yang sudah memberinya topi itu. "Tulisan yang ada di dalem topi bacanya apa?"
Raisa menahan senyumnya, "apa? Aku nggak tahu."
"Masa?" Rasha tersenyum jahil.
"Ya kamu bisa baca sendiri kan?"
"Maunya dibacain," rengek Rasha. "Pengen denger langsung dari orang yang ngasih."
"Aku..."
Rasha menatap Raisa lekat.
"Mau pulang," lanjut Raisa lalu tertawa.
Rasha menarik tangan cewek itu dan memeluknya erat. "Nggak boleh pulang sebelum bacain tulisannya."
"Nggak mau," Raisa menggeleng pelan.
"Ya udah nggak boleh pulang."
"Tadi ngajakin pulang, sekarang nggak ngebolehin pulang, gimana sih," Raisa tertawa pelan.
"Kalo mau pulang, bacain dulu dong."
Raisa menyembunyikan kepalanya di dada bidang Rasha. "Raisa sayang Rasha," lirih Raisa.
Rasha mengendurkan pelukannya. Ia menatap jahil Raisa. Tangan kirinya menggaruk telinga.
"Duh, kok nggak kedengeran ya, Ra? Lo ngomong apa tadi?"
Raisa menunduk malu. "Raisa sayang Rasha."
"Haa? Lo ngomong apa barusan? Yang kenceng dong, gue nggak denger nih."
"Raisa sayang Rasha!" teriak Raisa.
"Rasha juga sayang Raisa!" teriak Rasha.
"Nggak denger!"
"Raisa juga sayang sama Raisa! Rasha sayang banget sama Alea Raisa!"
Tawa mereka berderai mengisi keheningan malam hari. Mereka saling tatap sebelum saling memeluk dengan erat.
"Maaf, buat kamu nunggu," bisik Raisa.
"Gue akan nunggu lo sampe kapan pun, Ra," balas Rasha.
"Tapi, Sha," Raisa mengendurkan pelukannya. Ia menatap kedua mata Rasha.
"Kenapa?"
"Kamu jangan marah ya?" Rasha mengangkat satu alisnya. "Jangan marah yaa?"
Rasha mengangguk. "Nggak akan marah."
"Aku nggak mau kita pacaran," ucap Raisa takut-takut.
Rasha tertawa kecil. "Emang kenapa?"
"Nggak mau ada kata putus." Raisa memeluk Rasha dan menyembunyikan wajahnya yang memerah di dada bidang cowok itu.
Rasha terkekeh dan mengeratkan pelukannya. Raisa tertawa geli mendengar jawaban cowok itu.
"Iya, sayang."
🐬🐬🐬
Jam menunjukkan pukul sembilan. Raisa berjalan di belakang Rasha menggandeng tangan cowok itu. Rasha menoleh merasakan tangannya yang digoyangkan. Ia menahan tawanya melihat ekspresi takut Raisa.
Rasha menepuk tangan Raisa yang menggandengnya, menyalurkan ketenangan pada cewek itu. Raisa mengangguk pelan.
Pintu rumahnya terbuka setelah Rasha memencet bel. Keluar dua orang yang terlihat sangat lega setelah melihat Raisa.
Kaitan tangan mereka terlepas saat Lina memeluk putri tunggalnya. Hati Raisa hancur mendengar tangisan wanita yang telah melahirkannya.
Raisa menyeka air matanya dengan cepat. Ia melepaskan pelukannya. "Alea mau ke kamar, permisi," ucapnya dingin.
Lina mematung melihat sikap putrinya. Ia benar-benar merasa bersalah pada putrinya itu. Lina mendongak ketika kedua tangan suaminya mengusap bahunya lembut.
"Makasih udah nganterin Alea pulang," ucap Irfan pada Rasha.
"Iya om, sama-sama. Rasha permisi, om, tante," Rasha mengangguk sopan.
🐬🐬🐬
Raisa mendengar ketukan pintu lalu bergegas membukakannya. Ia terdiam melihat Irfan, papanya.
"Boleh Papa masuk?"
Raisa mengangguk. Ia sempat melirik jam. Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Seharusnya, Papanya itu sudah di kantor.
Irfan duduk di tepi kasur. Pria berumur empat puluh tahun itu memperhatikan tembok yang ada di depannya. Tembok yang penuh dengan foto-foto masa kecil Raisa. Pandangannya beralih ke putri tunggalnya.
Raisa melihat setetes air mata yang turun dari kedua mata tajam Irfan. "Pa-pa, ke-napa?" tanyanya terbata.
"Alea, maaf."
Deg
Dada Raisa terasa sesak melihat air mata yang turun dari kedua mata Irfan tambah banyak.
"Maafin Papa sama Mama," lirihnya.
"Paa," tenggorokan Raisa begitu sulit mengeluarkan kata-kata.
Bibirnya bergetar menahan tangis. Raisa mendekati Irfan dengan langkah ragu. Duduk di bawah di samping kaki Irfan. Raisa menaruh kepalanya di paha Irfan sambil menangis sesenggukan.
"Papa," isaknya.
Irfan menarik lembut lengan Raisa, menyuruhnya duduk di sampingnya. Mengusap puncak kepala putrinya yang menunduk lalu memeluknya. Menyalurkan kehangatan seorang ayah yang lama tak putrinya dapatkan.
"Maafin Papa yang nggak liat pertumbuhan putri kecilnya. Papa yang nggak pernah denger celotehan putrinya tentang kegiatan sekolahnya. Papa yang nggak pernah berkata lembut pada putri kecilnya."
Raisa memeluk Irfan erat.
"Maafin Papa, Al. Papa nggak pernah merhatiin kamu," ucap Irfan. "Papa nggak tahu kalau putri kecilnya udah besar. Papa ngelewatin masa pertumbuhan kanu karena sibuk cari uang."
Raisa menangis sesenggukan seperti seorang anak yang habis terjatuh dari sepedanya dan sedang mengadu ke laki-laki yang ia anggap pahlawannya.
"Papa nggak mau kamu ngerasain apa yang Papa sama kakak-kakak Papa rasain waktu kecil. Yang harus makan nasi kering yang dimasak lagi. Yang kakinya harus sakit karena nggak punya uang beli sepatu. Maafin Papa, Al."
"Papa mau memperbaiki semuanya. Papa nggak mau ngelewatin pertumbuhan putri kecil Papa lagi," Irfan mengelus puncak kepala Raisa.
Raisa melepaskan pelukannya. "Alea masih putri kecilnya Papa," rengeknya.
Irfan tertawa kecil. Lina mengusap air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya. "Mama juga mau dipeluk," rengeknya dengan wajah di buat cemberut.
Irfan dan Raisa tertawa. Mereka bertiga sekarang sedang berpelukan. Raisa sangat bersyukur. Sesuatu yang di impikannya sejak dulu sekarang terwujud.
Memiliki perasaan hangat karena perhatian dari kedua orang tuanya.
"Emang udah lebaran ya, kok pada minta maaf? Padahal puasa aja belum."
Yaa, suasana haru mereka terganggu oleh kedatangan seseorang dengan celetukan polosnya yang tidak mengerti suasana yang sedang terjadi.
🌿
Udah main panggil sayang aja nih si Rasha😌
Terima kasih sudah membaca dan memneri suara😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasha dan Raisa✔
Teen FictionCOMPLETED Elang Series 1 Alea Raisa, akrab dipanggil Raisa. Salah satu murid berprestasi di sekolahannya, SMK Elang. Cewek cantik yang banyak disukai oleh teman-temannya. Sikapnya yang baik, ramah, dan jahil. Setiap ada seorang cowok yang melakukan...