TIGA PULUH TIGA

1.9K 197 6
                                    

Nisrina mengernyit ketika ia menyadari kamar Alaika digembok.

"Apa Alaika ke kampus duluan?" ucap Nisrina dengan bingung karena pasalnya Alaika tidak pernah meninggalkannya untuk pergi kekampus duluan. Mereka selalu bersama-sama.

Nisrina memutuskan untuk kekampus tanpa Alaika dengan meminta Bimo  mengantarnya.

"Kenapa nggak pergi sama-sama Alaika?"

Nisrina menatap Abram yang sudah berdiri didepan kelasnya.

"Alaika pergi duluan kayaknya" jawaban Nisrina membuat kening Abram mengernyit.

"Alaika belum datang, ia tidak ada dikelasnya" jawab Abram yang membuat Nisrina langsung menyapukan pandangannya keseluruh penjuru kelasnya.

"Tapi kamarnya digembok tadi berarti Alaika nggak ada dikamar. Kirain Alaika kekampus" jelas Nisrina.

"Nomor hp nya juga nggak aktif. Kamu nggak ada ngomong apa-apa lagi dengan Alaika?" tanya Abram cemas.

"Nggak ada. Terakhir ya itu yang ngajakin dia ke camp dan dia bilang nggak mau karena lagi nggak enak badan. Kemarin Alaika memang aneh sih, ia pergi dengan raut wajah sangat bahagia dan pulang dengan wajah yang teramat sedih dan lesu" Nisrina mulai mengkhawatirkan Alaika.

"Kekantin mungkin?" tanya Nisrina ragu karena ia tau persis betapa Alaika tidak pernah kekantin di pagi hari.

"Nggak mungkin. Alaika nggak pernah ke kantin di pagi hari. Anak itu sarapannya tidak pernah jam segini" jawab Abram yang hapal dengan tingkah laku Alaika.

"Pasti ada yang nggak beres" lanjut Abram.

"Ngapain kalian didepan kelas? Bukannya masuk"

"Eh bapak" sapa Nisrina sambil nyengir salah tingkah saat dosen mata kuliahnya berdiri didepannya.

"Biasa pak. Bahas masalah himpunan dulu. Kalau begitu saya pamit dulu pak, maaf mengganggu" pamit Abram.

Nisrina mengikuti dosennya memasuki kelas sementara ekor matanya melihat sosok Abram menuruni tangga dan Nisrina mengambil kesimpulan pria itu akan membolos.

. . .

Alaika menghela nafasnya sambil membiarkan rambut panjangnya yang tergerai diterpa semilir angin. Ia menatap lurus-lurus namun hampa pada debur ombak. Dibiarkannya kaca mata hitamnya bertengger dipangkal hidungnya yang mancung untuk menutupi matanya yang teramat sembab.

Lama Alaika hanya terdiam hingga suasana dingin pagi berubah sedikit demi sedikit mulai memanas menandakan bahwa siang telah menyapa. Alaika bangkit dan berjalan menelusuri pantai sambil membiarkan kakinya yang telanjang diterpa ombak pantai. Ia membiarkan ujung celana jeansnya basah.

"Ternyata bukan mimpi buruk" ucapnya lirik sambil menyunggingkan senyum mirisnya mengingat hal yang telah terjadi kemarin. Ia berdiri ditempat dimana Ares mengatakan bahwa minggu ini pria itu akan melaksanakan pertunangannya.

Sadar bahwa semua yang terjadi bukanlah mimpi buruk, Alaika berjalan menuju salah satu gazebo untuk mengistirahatkan segala penat jiwa dan raganya. Alaika menyandarkan kepalanya pada tiang gazebo, ia melepas sunglassesnya dan kemudian memejamkan matanya. Merasakan kegelapan yang begitu hampa.

"Alaika"

Alaika mengernyit mengenal suara yang memanggilnya.

"Alaika"

Alaika membuka matanya, ia menyipitkan matanya untuk menghalau sinar mentari yang menutupi sosok yang sedang berdiri didepan gazebonya.

"Kenapa pergi meninggalkan abang begitu saja?" protesnya sementara Alaika terpaku menatap sosok didepannya. Alaika berdiri dan menghampiri pria tersebut.

"Bang Abram?" tanyanya tak percaya saat ia sudah berdiri didepan Abram.

Abram tersenyum.

"Kenapa abang bisa tau Alaika disini?" tanya Alaika bingung.

"Apa sih yang abang nggak tau dari kamu"

Alaika hanya tersenyum mendengar jawaban Abram. Separuh jiwanya terharu melihat Abram begitu mengenal dirinya dan kebiasaannya.

'Kenapa bukan kamu? Kenapa bukan kamu yang dipuja oleh jiwaku? Kenapa bukan kamu yang didamba oleh debar jantungku?' batin Alaika sambil menatap sendu wajah tampan Abram.

"Apakah ada hal buruk yang terjadi?"

Alaika menggeleng sambil tertunduk. Ia enggan untuk bercerita. Ia tak punya tenaga untuk menjelaskan bagaimana jiwanya yang terasa hampa, dadanya yang terasa sakit dan ruang kosong yang terasa menyesakkan dalam hidupnya.

Abram tersenyum sambil mengangkat dagu Alaika dengan perlahan dan lembut penuh kasih. Ditatapnya mata sendu Alaika. "Bahkan jika semua hal didunia ini menjadi buruk untuk kamu, Abram Rajaswara akan selalu menjadi pilihan terbaik untuk Alaika seorang"

Air mata Alaika mengalir menatap mata teduh Abram. Pria itu menghapus air mata Alaika dengan sebuah senyuman. "Jika kamu terluka, tidak mengapa untuk mengaduh. Jika memang sakit tidak mengapa untuk menangis. Namun biarkan hanya seorang Abram yang mengobati luka seorang Alaika dan tolong biarkan hanya seorang Abram yang akan memelukmu ketika kamu menangis. Jangan menanggung semuanya seorang diri. Alaika selalu punya abang dan abang akan selalu ada untuk Alaika saat senang maupun sedih"

Alaika pikir air matanya sudah habis untuk menangisi Ares semalam penuh namun ternyata sekarang air matanya mengalir semakin deras mendengar ucapan Abram.

Alaika merasakan jemari penuh kehati-hatian menghapus air matanya. Alaika membuka matanya dan keningnya mengernyit menatap sosok Abram sedang duduk menatapnya dengan tatapan sedih dan terluka yang sama dengan rasa sedih dan terluka dibenaknya yang tumbuh sejak kemarin.

'Mimpikah?' gumam Alaika.

Alaika dengan perlahan dan ragu ingin menyentuh wajah Abram. Saat tangannya merasakan kehangatan kulit Abram, mata Alaika memancarkan keterkejutan karena kehangatan Abram sedikit demi sedikit merayapi kehampaan jiwanya.

SAVE OUR LAST STORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang