DUA PULUH DELAPAN

1.9K 189 2
                                    

Alaika memicingkan matanya saat dilihatnya sosok Abram sedang mondar mandir dengan mulut berkomat kamit didepan gerbang kuburan. Alaika mendekat, mata Abram melebar melihatnya. Pria itu berjalan dengan tergesa-gesa.

"Kamu dari mana aja sih?!" bentak Abram yang membuat Alaika terperanjat kaget. Alaika menatap Abram dengan alis berkerut, disana...pada manik mata itu, Alaika dapat melihat dengan jelas berbagai ekspresi; lega, kalut, khawatir, cemas, takut membaur menjadi satu.

"Abang kenapa sih? Ya dari pos sebelumnya lah" jawab Alaika tidak mengerti. Ia tadi sempat berpikir ia salah arah dan berjalan kembali namun ditengah persimpangan ia melihat salah satu senior untuk menyuruhnya putar balik. Pada dasarnya langkah dan arah yang ditempuh Alaika sudah benar hanya saja wanita itu kurang sabar. Pos pertama sebenarnya sudah lumayan dekat tadi.

Alaika kembali memutar arah menuju jalan yang tadi ia lewati. Setelah berjalan lama dan melewati beberapa pos, sekarang ia berdiri didepan pos terakhir yang dijaga Abram.

Abram mengehela nafas namun ekspresi pria itu masih terlihat kesal yang tak Alaika pahami kenapa. Abram menyerahkan secarik kertas kepada Alaika.

"Cari apa yang kami sembunyikan disana" titah Abram.

Alaika melaksanakan tanpa bantahan, ia tau suasana hati pria itu sedang buruk entah karena apa.

Alaika sebenarnya ingin merutuki pilihan panitia terhadap kuburan ini. Kenapa harus kuburan cina coba kalau ada pemakaman islam yang terletak tidak jauh dari sini. Masalahnya adalah Alaika buta huruf mandarin, ia harus ekstra teliti memperhatikan setiap huruf tanpa paham apa artinya. Terlebih lagi godaan untuk mencomot buah-buahan yang disajenkan disana, hujan membuatnya lapar.

'Ini kalau aku makan ntar bakal loncat-loncat sama teriak-teriak nggak ya?' Alaika menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan apa yang ada didalam benaknya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk fokus mencari kuburan yang diinginkan kertas dalam genggamannya, ia tidak berani menoleh kebelakang. Abram yang sekarang lebih mengerikan dari hantu cina yang dulu sering dia lihat di tv pada masa kecilnya.

Tatapan Abram tidak lepas dari punggung Alaika. Sekarang hanya tersisa mereka berdua disini. Matanya mengikuti kemana Alaika melangkah. Lama Abram mengamati dan pada akhirnya ia mendekat untuk membantu Alaika.

"Belum ketemu?" tanya Abram.

Alaika menggeleng dan masih asik mencari disekitar kuburan yang ia yakini sesuai dengan yang tertulis dikertasnya. Abram mendekat dibelakang batu nisan yang sangat besar. Ia mengambil sedotan yang berwarna kusam senada dengan warna batu nisan tersebut.

"Ini"

Mata Alaika melebar melihat sedotan kusam yang Abram berikan. Pantas saja ia tidak menemukannya. Alaika tidak pandai menemukan hal-hal tersembunyi.

"Ya ampun. Makasih loh. Ala tuh memang nggak pandai menemukan hal-hal yang tersembunyi termasuk perasaan yang tersembunyi" ucap Alaika memancing rasa humor yang biasa begitu besar dalam diri Abram. Namun pria itu hanya berbalik dan berkata "Ayo pulang".

Mereka berjalan menuju jalan pulang menyisiri jalan sepanjang pantai. Alaika melepas sepatunya dan membiarkan kakinya basah oleh air asin. Alaika berhenti, ia menatap pantai dan membiarkan Abram terus berjalan meninggalkannya. Abram yang menyadari ada langkah yang tiba-tiba sunyi langsung menoleh dan melihat Alaika sedang menikmati memandang pantai. Rambut panjang wanita itu yang dikuncir menari-nari dimainkan sang angin.

Abram mendekat. "Ada apa?"

"Ala capek dari tadi jalan terus, berdiri terus. Ala mau duduk dulu" ucap Alaika sambil duduk diatas pasir yang tak tersentuh ombak pantai. Abram mengikuti Alaika. Ia duduk disamping wanita itu. Dalam diam mereka menatap lurus-lurus pada hamparan air yang luas didepan mereka.

"Bang mau dengar lagu nggak?" tawar Alaika yang sekarang mengeluarkan mp3 dan headsetnya.

Pantai dan lagu dalam benak Abram itu adalah hal romantis yang tak pernah ia lakukan. Namun pria itu mengernyit ketika Alaika menempelkan headset pada telinga sebelah kirinya dan beberapa detik kemudian Abram berdiri sambil melemparkan headset tersebut. Alaika tertawa menikmati ekspresi takut, shock dan heran dari raut wajah tampan seorang Abram.

"Ya Tuhan Ala kamu mutar lagu Lingsir Wengi" ucap Abram tidak percaya segala khayalan romantisnya sirna, musnah. Alaika memang selalu tidak bisa tertebak.

"Hahaha...maaf. Habis abang gitu sih. Nyeremin makanya mutar lagu ini kan pas backsoundnya" kilah Alaika masih menertawakan Abram.

"Sini duduk lagi, kali ini Ala janji nggak akan mutar lagu itu. Bentar lagi matahari terbit pasti pemandangan langit akan sangat indah, Ala nggak mau melewatkannya" pujuk Alaika dan Abram menurut.

Alaika mencabut headsetnya dan mereka menikmati lagu klasik Canon in D Major - Pachelbel ditemani debur ombak mereka duduk berdampingan dalam diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Alaika merasa seperti de javu. Hanya saja dulu ia menikmati keindahan langit senja sekarang ia menikmati keindahan fajar. Dulu bersama terkasihnya ia menikmati matahari tenggelam dan menyaksikan pusat tata surya itu pergi membawa serta terkasihnya pergi dan menghilang dalam kelam dan gelap yang pekat.

Namun...saat ini berbeda dengan waktu itu dengan orang yang berbeda pula. Saat ini ia menatap sang fajar muncul. Melihat matahari, sang tata surya kehidupan ini terbit dan perlahan muncul membawa sinarnya dan memusnahkan kegelapan yang terasa hampa dan mencekam. Seperti harapan yang diam-diam muncul terhadap asa yang telah lama mati dan debar jantung yang telah lama sunyi.


SAVE OUR LAST STORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang