DUA PULUH LIMA

1.9K 180 2
                                    

"Ala, bangun. Udah sampai"

Alaika merasakan tubuhnya terguncang. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan mengumpulkan keping-keping kesadarannya yang berceceran disepanjang jalan.

"Sampai dimana?" tanya Alaika yang masih linglung.

"Sampai ditempat kegiatanlah. Masa sampai di akhirat. Cepat turun, ntar kita dimarah. Lagi di OSPEK nih" jawab Nisrina kesal setengah mendesak agar Alaika segera sadar seutuhnya.

Alaika turun dari bis dengan bersungut-sungut, handphone dalam saku celana jeansnya bergetar. Alaika mengangkat telponnya dan Azka segera memberikannya wejangan untuk selama 3 hari ia kegiatan dipantai karena begitu sampai di area pantai nantinya, ia akan kehilangan sinyal. Alaika mencari aman dengan mengiyakan semua ucapan Azka.

Alaika menatap rumah penduduk sekitar, ia harus berjalan kaki selama 20 menit untuk menuju wilayah pantai. Alaika sadar ia adalah berjalan paling belakang diantara rombongan. Teriakan Abram ia abaikan, Alaika terlalu asik mempelajari situasi baru disekelilingnya.

"Mas udah dulu ya. Untunglah nggak ada kejadian aneh. Ala udah panik tadi dengar kalau rumah kita pintunya terbuka padahal nggak ada orang. Takut kenapa-kenapa gitu, soalnya zaman sekarang ada jenis manusia lebih bar-bar dari binatang, lebih menakutkan dari setan, punya hati tapi mati" ucap Alaika sambil bergidik dengan pemikiran-pemikiran buruknya.

Alaika mematikan handphonenya dan melangkah dengan langkah lebar-lebar menuju tempat dimana Abram berdiri sambil berkacak pinggang.

"Lama banget sih. Kamu nggak sadar apa jadi yang paling terakhir. Kalau hilang gimana?" cerocos Abram.

"Kalau Ala hilang ya dicariin lah bang. Jangan dibiarin hilang begitu saja lalu lenyap tak bersisa" jawab Alaika enggan berkonfrontasi dengan Abram.

"Abang tau nggak sih?" Alaika mulai berceloteh. Salah satu sifat Alaika adalah ia senang bercerita jika sudah merasa nyaman dan dekat dengan orang tersebut, Alaika terlihat tertutup namun jika seseorang sanggup membuka tirai yang ditutup rapat Alaika, wanita itu sebenarnya adalah orang yang terbuka dan suka bercerita.

"Apa?" timpal Abram. Sekarang mereka berdua jadi peserta dan panita yang berjalan paling belakang jauh tertinggal dengan peserta lain.

"Ala tuh dapat telpon, Mas cerita kalau dia panik ngeliat pintu rumah terbuka padahal papa sama mama lagi nginap di tempat keluarga yang diluar kota karena ada keponakannya mau nikah. Minggu depan sepupu yang seumuran sama Ala nikah"

"Kamu pengen?" potong Abram.

"Apa?" tanya Alaika bingung.

"Nikah" jelas Abram.

Alaika tersenyum dan menggeleng. "Menikah muda tidak pernah terbersit dalam benak maupun pemikiran Ala. Mama dan Papa juga tidak mendesak untuk saat ini. Mereka selalu bilang untuk menikmati masa muda, lagipula dari pada mendesak menikah mereka lebih mendesak agar Ala bisa selesai kuliah tepat waktunya atau secepatnya kalau bisa. Mungkin setelah itu mereka baru mendesak Ala untuk menikah"

Abram mengangguk mengerti. "Lalu? Apa yang terjadi?"

"Nggak tau. Mas bilang nggak ada apa-apa. Nggak ada barang yang hilang. Waktu menelpon mama sama papa juga mas bilang mereka yakin udah ngunci pintu. Mas juga bilang ia yakin udah ngunci pintu sebelum pergi. Tapi mungkin Mas aja sih yang lupa. Maklum faktor usia. Mas Azka kan udah uzur alias tua alias lapuk" ucap Alaika santai. Abram mengulum senyumnya mendengar Alaika berceloteh.

"Ala cuma takut aja sih ada pencuri" lanjut Alaika lagi.

Abram mengangguk-angguk. "Kamu takut pencuri padahal kamu bagian dari mereka" ucap Abram yang membuat kening Alaika mengernyit.

"Maksudnya?" tanya Alaika bingung dengan kening mengernyit, ia menatap Abram.

"Kamu kan juga pencuri. Kamu telah mencuri hati abang" ucap Abram gombal. Alaika tertawa lepas mendengar godaan Abram.

"Receh. Tapi Alaika juga takut sama pembunuh makanya Alaika takut sama abang" ucap Alaika.

Mereka terus berjalan dan berceloteh sepanjang jalan menuju pantai.

"Abang bukan pembunuh kok" ucap Abram tak terima.

Alaika mengulum senyumnya.

"Ala tuh takut abang jadi seorang pembunuh atas rasa cinta Ala untuk sosok dimasa lalu dan menjadi pembunuh berdarah dingin atas rasa yang saat ini sedang tumbuh subur dalam dada Ala untuk abang" ucap Ala membalas godaan Abram. Alaika tersenyum sambil menatap dalam-dalam mata Abram.

Mereka saling tatap mencari setitik cahaya ketulusan dalam manik mata masing-masing ditengah hempasan ombak yang terdengar samar mereka mulai meraba debar jantung mereka masing-masing.

SAVE OUR LAST STORY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang