6. Tired

6.1K 493 61
                                    

Lelah.

Ia lelah.

Lelaki bertubuh mungil dengan wajah manis itu kelelahan. Bukan tanpa sebab, ia lelah akan semua pemikiran yang acap kali muncul dalam benaknya. Pikiran-pikiran nakal nan menyakitkan terus melingkupi benaknya. Rasa pening mungkin bukan lagi kata yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana perasaan yang ia rasakan saat ini.

Terlalu rumit.

Jika diibaratkan dengan visualisasi, isi dari kepalanya seperi sebuah benang hitam yang kusut. Dalam kepalanya seolah banyak suara yang entah dari mana datangnya dan entah kapan akan pergi. Kegelisahan sering muncul tiap kali pikirannya berkecamuk. Menangis pun rasanya tidak berguna sebab dengan tangisan perasaannya kadang tidak bisa membaik sama sekali. Begitu pun dengan pelukan.

Rasanya seperti tidak ada tempat yang mana, termasuk di dalam kepalanya. Rasanya tempat terseram di dunia ini adalah dalam benaknya. Setetes air mata mengalir tanpa adanya penghalang. Kepalanya serasa penuh. Benar-benar penuh.

"Diamlah, kumohon..." lirihnya seraya memukul-mukul kepalanya.

Tak kunjung membaik, lelaki bernama lengkap Lee Jihoon itu meremat helaian rambutnya dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Diamlah, sialan!" pekiknya seraya memukul kembali kepalanya.

Lelaki bertubuh mungil itu terkejut ketika seseorang menarik tubuhnya ke dalam dekapan hangat yang begitu erat. Wangi maskulin dari tubuh lelaki yang kini tengah memeluknya pun menyeruak di penciumannya. Wangi yang sangat familiar baginya. Wangi lelaki kesayangannya.

"Apa kegelisahan itu kembali muncul?"

Jihoon hanya bisa menangis dalam pelukannya ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir Soonyoung. "Tidak apa-apa, menangislah sesukamu. Jangan dipendam, aku di sini untukmu, Sayang..."

Mendengar ucapan tersebut, seketika kegelisahan, kesedihan, dan seluruh masalah yang membuat kepalanya pening keluar seketika. Jihoon meremat kuat jaket yang Soonyoung kenakan seolah mengisyaratkan bahwa ia sedang dalam kegelisahan yang luar biasa. Seolah memberi isyarat bahwa ia sedang butuh sandaran dan Soonyoung mengerti itu.

Lelaki bernama lengkap Kwon Soonyoung itu mengelus punggung atau sesekali menepuk-nepuk surai halus kekasihnya dan menggumamkan kalimat-kalimat penenang di dekat telinga Jihoon.

"Kau telah bekerja keras. Semua akan baik-baik saja, Ji... aku akan selalu di sini, selalu di sisimu. Aku tidak akan pergi ke mana pun," ujar Soonyoung lirih di depan telinga Jihoon ketika lelaki yang berada di pelukannya itu telah menghentikan tangisannya.

"Apa yang mengganggu pikiranmu, hm? Boleh aku tahu, Sayang?"

"Aku takut, Soonyoung..." lirih Jihoon dengan suara seraknya. Lelaki itu kembali meremat sejumput kain jaket Soonyoung.

"Takut? Ceritakan padaku," katanya seraya mengelus pipi tirus kekasihnya.

Jihoon menarik napasnya terlebih dahulu sebelum ia memulai ceritanya. "Aku takut mengecewakan orang-orang yang telah berekspektasi tinggi terhadapku. Aku takut tidak menjadi orang yang mereka inginkan," jelasnya.

Soonyoung menyisir rambut-rambut halus kekasihnya dengan jemarinya. Menarik kepalanya mendekat untuk ia berikan kecupan singkat di keningnya. "Kau mempunyai kebebasan untuk hidup. Janganlah kau hidup di atas ekspektasi orang-orang terhadapmu. Hiduplah sesuai dengan hidup yang kau inginkan. Jika mereka memberikan kritik yang membangun, terimalah. Kau bisa menjadikan itu sebagai tolak ukur dalam memperbaiki diri. Namun, jika mereka mengkritik tanpa dasar yang pasti, biarkanlah. Kau adalah kau, bukan mereka," jelasnya Soonyoung.

SoonHoon Collection IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang