"Sebenarnya, apa tujuanmu?"
Ketika matahari begitu teriknya dan perut dalam waktu meronta ingin diisi. Bukannya berada di kafetaria, dua orang malah berdiri di atap sekolah, tanpa sengaja bertemu, meskipun kesannya tidak benar-benar seperti itu.
Siapa yang mencari yang dicari, tidak ada yang tahu, tidak akan ada yang mengaku, atau mungkin itu karena keduanya sama-sama begitu.
"Apakah Sunbae benar-benar ingin mengetahuinya?" Sungguh sejenis keajaiban bagiamana Jimin tidak mengubah cara bicaranya ataupun panggilannya kepada Yoongi bagaimanapun keadaan mereka saat ini.
"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa aku tidak memiliki niat apa pun, apakah Sunbae akan percaya?"
"Park Jimin, berhenti berbelit-belit." Yoongi ingin segera mengetahui, dengan jelas dan pasti. Bukan sesuatu yang tidak jelas atau sengaja dikaburkan untuk mengelabui.
"Lalu apa yang harus aku katakan? Kau tidak mempercayaiku." Jimin tersenyum miring kemudian. Situasi ini, ia merasa begitu lucu. Apakah Yoongi berhak menginterogasinya seperti ini?
Apa pun tujuannya dan apa pun yang akan dilakukannya, bukankah itu hanya menjadi urusannya? Terserah pada dirinya untuk mengambil yang mana.
Tapi kenapa semuanya berubah menjadi keadaan di mana Jimin dijadikan pihak antagonis?
Sebuah ancaman? Tuduhan sejenis itukah?
"Yoongi Sunbae, apakah Kara memang semengerikan itu?" Jimin bertanya seolah-olah tidak tahu, seolah bukan menanyakan tentang orang lain alih-alih dirinya. Tapi, Jimin memang tidak benar-benar tahu, sudah setahun lebih sejak saat itu, kini dia tidak tahu bagaimana dunia memandang Kara.
Meskipun bagi Jimin itu hanya bagian dari masa lalu, tapi nampaknya itu tidak bisa begitu sederhana untuk beberapa orang.
Salah satunya Min Yoongi.
"Apakah kau senang menyombongkan betapa hebatnya dirimu dulu?"
Jimin tertawa, sangat kencang dan tidak sedikit pun mengandung ketulusan. Belakangan ini, ia merasa banyak hal yang ingin dirinya cemooh.
"Apakah aku benar-benar sehebat itu?"
Beberapa waktu berlalu, tapi tidak ada titik terang sama sekali. Yoongi ingin menerka, tetapi Jimin menjadi semakin sulit untuk dibaca.
"Sunbae, aku benar-benar tidak tahu bagaimana orang-orang memandangku setelah aku tidak berada di tempat yang sama. Tolong abaikan saja aku jika keberadaanku mengganggu," ujar Jimin pada akhirnya. Ia menghela napas, terlihat benar-benar lelah dengan pembicaraan ini.
"Aku tidak akan mengusik Bangtan, tenang saja."
Jimin pikir mungkin karena keberadaannya sangat mengancam untuk bisa melakukan hal sejenis memporak-porandakan Bangtan. Sayangnya, meskipun niatnya tidak jelas, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin ia lakukan.
Untuk apa? Tidak akan ada keuntungan macam apa pun yang bisa Jimin peroleh.
Yoongi memandang kepergian Jimin dengan sendu, seperti ada yang belum ia katakan dan tertahan di balik bibir tipisnya yang mengatup rapat. Ia tidak mengerti perubahan Jimin yang begitu drastis, juga, sekarang ia mulai meragukan Jimin menyukainya atau tidak karena hal ini. Meskipun lelaki itu selalu gamblang mengatakannya dan tidak hanya sekali, tapi rasanya sangat sulit dipercayai ketika Jimin berubah begitu dingin.
.
.
.
Karena dalam waktu dua minggu Jimin tidak muncul sama sekali untuk menghadiri klub. Seokjin menghukumnya dan menyuruh lelaki itu untuk membantunya mengurus tanaman herbal yang ada di belakang sekolah sepulang sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Mist [Completed]
FanfictionPark Jimin si murid 'cupu' harus menghadapi kesialannya karena berakhir dipaksa menjadi pelayan dari Min Yoongi, si ketua geng berandalan di sekolahnya. Warn! GS, OOC, TYPO DON'T LIKE DON'T READ!