Di sabtu pagi, Yoongi terbangun karena suara dering ponsel, dia melirik sekeliling dan merasa asing. Lalu teringat bahwa ini bukan kamarnya, bukan pula rumahnya dan ini adalah kamar Park Jimin.
Ponsel yang berdering nyaring itu adalah milik Jimin, layarnya terus berkedip-kedip menunjukkan nomor tak dikenal.
Yoongi mengabaikan itu, hanya mencopot jarum infus di tangannya, cairan itu sudah habis dan dirinya sudah merasa lebih baik. Jemarinya terulur untuk memegang kalung, memastikan jika kemarin bukanlah mimpi.
'cklek'
"Sunbae! Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?"
Jimin masuk dengan nampan sarapan untuk Yoongi.
"Aku baik, di mana Jihoon?"
Jimin terdiam dan hanya meletakkan nampan itu di meja nakas.
"Sunbae bisa menebaknya?" Jimin malah balik bertanya, Yoongi menghela napas.
"Bisakah aku pergi untuk menemuinya sekarang?"
Jimin menggelengkan kepalanya pelan.
"Lakukan itu saat sore nanti, kita pergi bersama. Lagi pula, jam besuk belum dimulai saat ini." Jimin menjawab sembari melirik jam digital di atas meja.
Kembali pada waktu semalam, Hoshi pergi tak berapa lama setelah pembicaraan terakhir, dia harus kembali ke toko dan mendengar omelan bos dan ancaman pemotongan gaji. Kemudian beberapa jam berikutnya, berbanding terbalik dengan Yoongi yang tidur lelap karena efek obat, kondisi Jihoon merosot pada titik yang paling rendah. Tubuhnya sangat dingin tetap napasnya sangat panas, gadis itu membangunkannya susah payah dan meminta diantarkan pulang, tapi Jimin memilih mengantarkannya ke rumah sakit. Kira-kira pukul empat pagi, setelah Jihoon berada di ruang rawat, ia menghubungi orang tua gadis itu. Selesai, Jimin kembali ke apartemen dan melanjutkan tidurnya setelah mengecek kondisi Yoongi.
Rasanya, kemarin benar-benar hari yang panjang.
Yoongi memakan sarapannya bersama Jimin yang memandangnya penuh ketekunan. Seolah jika lengah sedikit saja, Yoongi akan menghilang dalam gumpalan asap tipis.
"Sunbae bisa mandi dan mengganti pakaian, aku membeli beberapa,"
Karena Jihoon berada di rumah sakit, Jimin tidak bisa meminta tolong untuk mengambilkan pakaian Yoongi. Akan sangat canggung jika Yoongi memakai pakaiannya, itu pemikiran yang terlalu jauh. Jimin lebih memilih untuk mengganggu Paman Heechul di pagi buta untuk mengirimkannya beberapa pakaian kasual untuk gadis SMA.
Entah ada berapa ataupun ada berapa, Jimin tidak tahu karena dia tidak memeriksanya.
Yoongi menyelesaikan sarapannya dan tiba-tiba tidak tahu harus melakukan apa. Sedangkan Jimin sendiri sama saja, tapi dia segera sadar kalau ada darah di punggung tangan Yoongi, bekas suntikan jarum infus.
"Sunbae, tunggu sebentar. Aku akan mengobati lukamu,"
"Tidak perlu, sebaiknya aku pergi mandi. Aku akan melakukannya sendiri di kamar mandi." Ujar Yoongi cepat. Dengan begitu menghilanglah ia di hadapan Jimin dan merasa sangat lega dalam hatinya sebab bisa keluar juga dari situasi awkward itu.
Jimin mengusap dahinya kemudian mengambil ponsel. Melihat berapa panggilan tak terjawab dari entah siapa.
Belum sempat ia memeriksa pesan masuk, ponsel itu mati, kehabisan daya.
Jimin hanya bisa meringis karena kebiasaan buruknya yang satu itu.
.
.
.
"Wah, sangat cantik, Sunbae!"
Dipuji secara spontan seperti itu tentu saja membuat gadis normal mana pun berakhir tersipu. Yoongi berusaha keras mempertahankan ekspresi datarnya meskipun wajah Jimin dengan senyuman penuh itu terus mengawasinya dengan pandangan kagum, sejenis pemujaan yang begitu polos apa adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Light In The Mist [Completed]
FanfictionPark Jimin si murid 'cupu' harus menghadapi kesialannya karena berakhir dipaksa menjadi pelayan dari Min Yoongi, si ketua geng berandalan di sekolahnya. Warn! GS, OOC, TYPO DON'T LIKE DON'T READ!