Chapter 22; Drizzle

2K 414 328
                                    

Yoongi tidak bisa memejamkan matanya barang sejenak, hatinya teramat gelisah, mendadak merasa begitu rumit untuk mengerti diri sendiri.

Menyerah, gadis itu bangun dari pembaringannya lalu menyibak tirai dan memandang keluar jendela. Gelap, malam memang tengah meraja, awan-awan yang mendung membuat suasana kian kelam.

"Aku menyerah." Dia menggigit bibir dengan mata terpejam pasrah, hela napas panjangnya menyusul. Lalu waktu berikutnya dia mengambil jaket kemudian berjalan keluar.

Di jalanan yang sepi dan berkelok-kelok, pikiran Yoongi melayang pada kejadian tadi siang. Terasa segar dalam ingatan bagaimana pandangan Jimin terakhir kali sebelum berjalan pergi.

Yoongi tidak bisa memungkiri, rasanya begitu tertohok oleh setiap kata-kata yang diucapkan lelaki itu.

Yoongi harus mengakui, ia salah kali ini. Hatinya tidak tenang karena menyadari ketidakadilan yang diterima Jimin. Begitu bodohnya, Yoongi membiarkan semua itu terjadi bahkan ikut andil meragukan lelaki itu sampai akhir.

Entah bagaimana nasib mereka nanti, Yoongi hanya ingin meminta maaf untuk sekarang. Jika pikirannya sudah lebih jernih, mungkin jawaban akan menghampiri benaknya sehingga dirinya bisa mengakhiri kebingungan yang sudah berlangsung cukup lama ini.

Dalam beberapa waktu berikutnya, Yoongi sudah berada di depan sebuah pintu apartemen seseorang. Ia mengangkat tangannya, berniat memencet bel, namun waktu berikutnya diurungkan.

Wajahnya mendadak murung, Yoongi berpikir kenapa dirinya begitu berani untuk mengunjungi apartemen Jimin di saat kondisi mereka yang tengah berseteru.

'Sepertinya lebih baik aku kembali.' Yoongi membatin, meyakinkan diri. Tapi, nampaknya rencana yang ia buat memang tidak begitu saja bisa ia ingkari begitu saja. Yoongi terbiasa mewujudkan rencana, sehingga untuk mengingkari itu dan berbalik, dia tidak sanggup.

Tanpa sadar, gadis itu menghela napas, begitu berat.

'Ting tong'

Yoongi menahan napasnya, namun beberapa waktu kemudian pintu di depannya tidak juga terbuka. Yoongi hendak memencet bel kembali saat tiba-tiba pintu itu terbuka.

"Hnggg siapa?"

Wajah kuyu Park Jimin menyapa, dengan rambut berantakan dan wajah pucat. Mata Jimin menyipit, mencoba memastikan jika manusia di depannya bukanlah ilusi, bukan bagian dari halusinasi akibat dari demamnya yang menjengkelkan.

"Huh? Yoo-" belum sempat Jimin menyelesaikan ucapannya. Tindakan Yoongi membuatnya kehilangan kata. Gadis itu meletakkan punggung tangan di keningnya, dengan pandangan serius seolah mencoba mengukur suhu tubuh Jimin yang memang sedang berada di atas rata-rata.

Jimin tertegun.

Kekhawatiran kini tergambar jelas di sepasang iris cokelat gelap gadis itu.

"Kau demam," sebuah pernyataan yang mengandung arti selaras dengan sepasang matanya.

"Eungg ya." Jimin meringis.

"Biarkan aku masuk!"

"Hah?"

.

Jimin tidak memiliki siapa pun untuk merawatnya dalam keadaan begitu, fakta itu membuat Yoongi tidak nyaman. Sehingga, mulutnya bekerja lebih cepat dari otak, menyerukan keinginan untuk masuk ke dalam apartemen Jimin.

Meskipun bukan kali pertama, namun mengingat apa yang terjadi terakhir kali, Yoongi tidak bisa untuk tidak merasa canggung. Rasanya ingin mundur, tapi bukan tabiatnya untuk kabur, lagi pula sudah terlanjur.

Light In The Mist [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang