———
Kemarin Anya tiba di rumah pada pukul satu dini hari, setelah menempuh perjalanan udara selama kurang lebih satu jam sepuluh menit dari Bandar Udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta ke Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang. Anya merasa badannya terasa remuk sekali, makanya setelah sampai di rumah ia langsung beristirahat. Tetapi ia juga sangat senang, sebab kedatangannya ke Magelang kemarin tidak sia-sia, karena akhirnya Anya bisa bertemu dengan Gandhi dan keluarganya setelah enam tahun tidak bertemu.
Pagi harinya Anya harus berangkat ke kampus dengan terburu-buru karena ia sudah hampir terlambat, padahal pagi ini ia ada kelas pagi mata kuliah Design and Materials. Dan yang membuat Anya kurang beruntung hari ini adalah dosen mata kuliah tersebut sangatlah disiplin dalam masalah waktu. Untung saja, Anya tidak terlambat sehingga ia masih bisa mengikuti kelas Design and Materials dengan lancar. Kalau tidak, bisa-bisa ia langsung diusir untuk menutup pintu dari luar oleh dosennya itu.
Dan sejak pagi tadi hingga kelas telah selesai, sadar atau tidak, Anya terlihat lebih bahagia dengan senyuman yang tak pernah lepas dari raut wajahnya. Sampai membuat Diva dan beberapa teman kelasnya keheranan.
"Nya, lo gila ya? Kata anak-anak kelas lo, dari tadi lo senyam-senyum nggak jelas gitu. Kenapa sih, lo?" tanya Diva heran melihat sahabatnya yang nampak tidak waras itu.
"Terserah kamu aja deh, aku lagi bahagia," jawab Anya sekenanya dan tidak memedulikan ucapan Diva.
Diva hanya mendengus sebal sambil memutar bola mata malas melihat sahabatnya yang sedang tidak waras itu. Lalu ia duduk miring menghadap ke arah Anya. "Eh, iya. Gimana kemaren di Magelang?"
Soal yang terjadi di Magelang kemarin, Anya memang belum menceritakan apa saja yang terjadi kepada Diva, karena saat Anya tiba di Jakarta memang sudah larut malam.
Bukanya langsung menceritakan kepada Diva yang nampak menunggu jawabannya, Anya malah bertopang dagu sambil terus tersenyum tidak jelas.
"Ih... Gue serius, Nya! Penasaran tahu!" protes Diva kesal sambil menonyor geram lengan Anya.
Anya hanya tertawa renyah karena melihat wajah penasaran sahabatnya itu yang sangat tidak enak untuk dilihat, dan langsung dibalas pelototan tajam oleh Diva.
"Oke-oke, santai," kata Anya sambil menepuk-nepuk bahu Diva pelan. "Aku bakalan cerita. Jadi...," Anya mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi pada tanggal 27 November kemarin, mulai dari awal saat ia baru sampai di Magelang hingga menghadiri upacara wisjurnya Gandhi. Anya menceritakan secara rinci dan runtun semua yang terjadi di Lapangan Sapta Marga kemarin. Obrolan penuh canda tawa dan kerinduan di salah satu restoran di Magelang bersama Gandhi dan keluarganya. Hingga dirinya yang diantar ke bandara oleh Gandhi dan keluarganya. Sampai akhirnya Anya menceritakan sikap manis yang Gandhi lakukan kepadanya. "... Jadi begitu, Div. Abis itu aku balik ke Jakarta. Karena udah malam jadinya aku langsung tepar. Terus paginya aku kesiangan padahal ada kelas pagi, terus selesai kelas ini rencananya aku mau nyamperin kamu ke kelasmu, tapi ternyata kamu malah udah kesini duluan. Yaudah deh, nggak jadi. Mungkin habis ini aku mau pula—"
"Udah Nya, udah. Nggak usah lo terusin lagi ceritanya. Bikin kesel aja!" ucap Diva kesal sambil menutup mulut Anya dengan telapak tangannya. "Itu seriusan Gandhi berani peluk lo di depan orang tuanya?"
Anya menarik lepas tangan Diva yang masih menutup mulutnya. "Menurutmu aku itu pinter bohong kayak kamu gitu, Div?"
"Ya nggak ada yang bisa ngalahin gue lah kalau masalah bohong membohongi mah," kata Diva malah membanggakan diri. Bohong kok bangga, dasar Diva. "Terus lo gimana?"
"Gimana apanya?" tanya Anya tidak paham.
"Haduh... Lo itu emang dasar lemot mikir atau emang nggak pekaan sih, Nya. Ya perasaan lo setelah dipeluk sama Gandhi gimana? Terbang kah? Loncat kah? Terjun kah? Atau lo emang nggak punya perasaan sama sekali, secara lo kan nggak pernah digituin sama cowok." cerca Diva sedikit kesal.
Anya nampak berpikir sejenak. "Hm... aku merasa lega aja gitu karena sudah bertemu dengan Gandhi dan keluarganya. Lagian dia meluk aku kan karena kangen teman masa kecilnya." jawab Anya santai.
Diva malah melongo setelah mendengar jawaban dari Anya. Mungkin bukan itu jawaban yang ia maksud. "Udah gitu aja?" tanyanya tidak percaya.
"Memangnya aku harus jawab apa sih?" jawab Anya kesal.
Diva hanya bisa menghela napas pasrah karena tidak bisa mengorek kepekaan sahabatnya itu. "Iya, Nya, iya. Terserah lo aja deh," kata Diva sambil mengibaskan tangannya di depan muka Anya.
Anya yang tidak paham dengan maksud ucapan Diva memilih menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas laptopnya.
"Ngomong-ngomong hadiah yang lo kasih buat Gandhi apaan, Nya?" tanya Diva penasaran.
"Rahasia dong."
"Ish... Gitu ya lo, Nya." kesal Diva sambil memanyunkan bibirnya. "Gue mau lihat foto-foto kalian di Magelang dong, mana hape lo?" tanya Diva sambil mengulurkan tangan kanannya ke Anya.
Anya langsung memandang heran ke arah uluran tangan Diva. "Aku lupa minta fotonya," jawab Anya lesu.
"Kok bisa. Emang fotonya pakai hape siapa?"
"Pake hapenya Mas Danar deh kayaknya. Lagian foto-foto yang ada akunya cuma dikit, itu aja bareng-bareng pas masih di lapangan upacara setelah wisjur," kata Anya sedikit lesu, kemudian ia berdiri dan hendak pulang ke rumah karena kuliahnya hari ini telah usai. "Tapi nggak apa sih, aku juga sempet foto pemandangan yang terjadi saat upacara wisjur itu berlangsung, dan itu seru banget."
"Yah... padahal gue penasaran banget sama Si Cungkring itu sekarang bentukannya kayak gimana," kata Diva kecewa. Lantas ia juga ikut berdiri mengikuti Anya untuk keluar dari kelas.
"Gandhi udah nggak cungkring kayak dulu lagi, Div, badannya sekarang jauh lebih berisi meskipun nggak berotot banget. Kulitnya juga lebih kecokelatan karena sering panas-panas mungkin ya dan dia tambah tinggi tau," kata Anya menjelaskan perawakan Gandhi saat ini kepada sahabatnya, sambil melangkah memasuki pintu lift.
Meskipun Anya sudah menjelaskan panjang lebar kali tinggi, Diva tetap saja masih penasaran dengan Gandhi yang sekarang ini.
BERSAMBUNG.
Selamat membaca.
Kamis, 12 Maret 2020|salam, tmsky
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Terduga
RomanceSelama ini, tak ada objek yang tak bisa aku torehkan ke dalam sebuah goresan gambar seni rupa. Namun, semenjak kau kembali datang di hidupku, aku sering salah menggoreskan pena. Bahkan, untuk menggambar sebuah titik yang paling mudah sekalipun aku...