———
Dengan rasa penasaran bercampur debaran jantung yang saling bertabu, Anya membuka bungkus paket itu dengan perlahan-lahan.
Dan... ternyata di dalam paket itu terdapat secarik surat dan dua buah figura yang sudah terbingkai rapi dengan frame kayu berwarna putih tulang berukuran 12,7 x 17,8 cm. Anya tiba-tiba tersenyum melihat foto yang sudah Gandhi cetak dan bingkai itu. Figura pertama berupa foto saat masih di Lapangan Sapta Marga, selesai acara wisjurnya Gandhi. Dimana di foto itu Gandhi berada di tengah seraya memeluk buket bunga dan boneka berbentuk taruna akpol berseragam PDU berwarna merah. Bapaknya berada di sebelah kiri Gandhi sambil merangkul pundak putranya itu dengan penuh rasa bangga, Mas Danar berada di ujung sebelah kiri tepat di sebelah kiri Bapaknya, Ibuknya berada di sebelah kanan Gandhi sambil memegang sebuket bunga mawar merah yang amat cantik, sedangkan Anya berada di ujung sebelah kanan tepat di sebelah kanan Ibuknya Gandhi yang mengapit lengan kanannya.
Di foto itu mereka semua tersenyum bahagia.
Entah kenapa senyuman Anya terus saja mengembang saat melihat foto itu.
Sedangkan figura yang kedua, dimana di dalam foto itu hanya ada Anya dan Gandhi saja. Anya tertawa renyah melihat foto itu, bagaimana tidak tertawa, sebenarnya foto itu adalah foto berramai-ramai sama seperti foto yang pertama tadi, hanya saja Gandhi sepertinya sengaja memotong sebagian orang yang ada di foto itu sehingga menyisakan hanya Anya dan Gandhi saja. Anya masih ingat dengan jelas kenangan saat itu, dimana Tante Dewi tidak puas hanya berfoto sekali saja, maka dari itu Ibuknya meminta Gandhi dan Anya berada di tengah sedangkan Bapak dan Ibuknya Gandhi berada di sebelah kanan dan kiri sedangkan Mas Danar di sebelah kiri Bapaknya.
Tiba-tiba Anya merasakan ada perasaan aneh yang tiba-tiba menghangatkan hatinya hanya karena melihat dua figura yang Gandhi kirimkan.
Selanjutnya, Anya beralih menatap surat yang juga Gandhi kirimkan untuknya dan ia masih hafal betul tulisan tangan Gandhi yang tidak begitu rapi tetapi masih bisa dibaca itu. Dengan jantung yang berdebar-debar, Anya membuka surat itu dan mulai membacanya secara perlahan.
Hai, Anya. Apa kabar?
Aku masih tidak menyangka kemarin bisa ketemu sama kamu setelah hampir enam tahun kita tidak pernah bertemu. Aku seneng banget, Nya, ternyata kamu mau datang ke wisuda prajuritku. Makasih ya, Nya.
Oh iya, kemaren saat ketemu kamu sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku bicarakan sama kamu, Nya. Tapi sayangnya waktu itu tidak memungkinkan untuk kita berbicara empat mata saja, jadinya ya gitu kan kemarin kebanyakan Ibuk, Bapak sama Mas Danar yang ngobrol sampai ngalor-ngidul. Hehe. Mungkin lain kali pas kita ketemu lagi ya, Nya.
Aku sengaja kirimin kamu foto kemarin pas wisjur tapi udah aku cetakin dan aku pasangin bingkai. Tapi maaf ya, Nya, kalau frame fotonya jelek. Itu foto kita yang cuma berdua sengaja aku gunting, Nya. Hehe. Lagian, pas di sana kemarin sangking bahagianya bisa ketemu sama kamu sampai lupa foto berdua sebagai bukti janji aku.
Semangat kuliahnya ya, Nya. Aku seneng kamu nggak memaksakan diri untuk menyukai sesuatu yang nggak kamu sukai. Itu tandanya kamu juga sudah menjalankan janji kamu sama dirimu sendiri dengan baik. Aku udah berfirasat sih kamu bakalan berhasil menepati janjimu juga, karena kamu dari dulu emang nggak tertarik sama dunia kedokteran. Karena aku tahu, kamu tuh anaknya art banget.
Intinya, aku mau berterimakasih sama kamu, Nya. Mungkin kalau waktu itu kamu nggak berusaha meyakinkan aku untuk sama-sama berjanji, kita nggak akan sampai dititik yang mana ini adalah pilihan kita, Nya. Semoga kita selalu berusaha ya.
Ya udah deh, Nya. Maaf ya kalau isi suratnya nggak jelas, aku nulis surat ini buru-buru soalnya udah diomelin terus sama Ibuk.
Bye, Anya.
~Baragandhi Maharaka~
Setelah membaca surat dari Gandhi, lagi-lagi senyuman Anya lolos begitu saja. Ada banyak rasa yang bercampur menjadi satu setelah membaca tulisan tangan Gandhi yang tidak begitu rapi itu. Sejak SD hingga sekarang, ternyata tulisan tangan Gandhi tidak berubah. Bahkan lebih parahnya, efek dari tulisan tangan Gandhi yang tidak begitu rapi itu mampu membuat jantung Anya berdebar tak sesuai batas wajarnya.
"Aku kenapa sih, kok deg-degan begini?" tanya Anya pada dirinya sendiri sambil memegang dadanya yang berdesir tak wajar.
Anya kemudian bangkit dari ranjangnya menuju meja belajar, entah mendapatkan bisikan dari mana tiba-tiba ia berniat membalas surat dari Gandhi tersebut.
Dengan berbekal selembar kertas warna-warni bergaris horizontal, sedikit demi sedikit Anya mulai mengoreskan kata demi kata menjadi sebuah kalimat untuk membalas surat dari Gandhi.
BERSAMBUNG.
Selamat membaca :)
Jumat, 27 Maret 2020 | salam, tmsky
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Terduga
RomanceSelama ini, tak ada objek yang tak bisa aku torehkan ke dalam sebuah goresan gambar seni rupa. Namun, semenjak kau kembali datang di hidupku, aku sering salah menggoreskan pena. Bahkan, untuk menggambar sebuah titik yang paling mudah sekalipun aku...