Pagi ini cuaca yang menyelimuti Kota Tanggerang begitu cerah, berbeda dengan hati Anya yang mendung. Padahal sudah hampir lima hari berlalu semenjak pertemuannya dengan Gandhi di Yogyakarta pada hari minggu yang lalu. Di mana pertemuannya yang tidak terduga itu, terjadi secara kebetulan yang mengharuskan Anya mengetahui sebuah kenyataan yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Kenyataan bahwa Baragandhi Maharaka, seseorang yang secara tidak langsung membuat hati Anya berbunga itu ternyata sudah memiliki pujaan hatinya.
Belum sempat Anya meyakinkan bahwa perasaannya untuk Gandhi itu tidaklah salah, namun ternyata Tuhan sudah mencegahnya untuk jangan berjalan lebih jauh lagi. Itu berarti, Anya harus segera menghapus bayang-bayang tentang Gandhi sebelum bayangan itu menghancurkan hatinya lebih dalam lagi. Dan jawaban atas pertanyaan Anya untuk dirinya sendiri itu akhirnya terjawab yaitu ia memang harus menyimpan rapat perasaan yang belum sempat mekar itu.
"Nya, Pak Windu udah dateng tuh. Udah dong bengongnya," ujar Nasha—salah satu teman yang lumayan dekat dengan Anya semenjak mereka dipertemukan di semester 3 ini—sambil menyenggol lengan Anya dengan kasar.
Anya yang sejak tadi hanya melamun sambil bertopang dagu, seketika tersentak kaget saat Nasha menyenggol lengannya dan memberitahu bahwa dosennya sudah datang. Seketika itu juga Anya langsung merapikan penampilannya yang berantakan.
Sejujurnya hari ini Anya sangat lelah dan malas untuk berangkat ke kampus, namun ketika melihat jadwal kuliah hari ini yang hanya satu mata kuliah, ia pun akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat. Sudah sejak hari senin lalu tugas kuliahnya tidak pernah membiarkannya beristirahat dengan tenang, pasalnya setiap pergantian hari dan mata kuliah pasti akan ada tugas baru yang menanti.
Dan di hari jumat pagi yang cerah ini, Anya harus mendengarkan ceramah dari dosennya yang sedang berdiri di depan kelas menyampaikan materi perkuliahan tentang Objek Artistik dan Arsitektur dari Seni Visual Timur pada mata kuliah Eastern Art Review.
Anya sebenarnya tidak begitu menyukai pelajaran sejarah, karena ia terlalu malas untuk menghafal dan mengingat sesuatu yang membuat kepalanya semakin pusing. Anya lebih suka langsung mempraktikkan bakatnya, yaitu menggambar.
Hampir dua jam lamanya Pak Windu menerangkan tentang materi yang disampaikan pada pertemuan pagi ini, selama itu pula Anya mencoba memahami apa yang beliau sampaikan. Namun tetap saja, ia tidak sepenuhnya paham dengan materi yang dosennya sampaikan bahkan hingga kelas ini akan berakhir.
"Baik, karena pertemuan hari ini sudah selesai, saya harap mahasiswa sekalian dapat memahami dan mengetahui mengenai materi perkuliahan tentang Objek Artistik dan Arsitektur dari Seni Visual Timur yang saya sampaikan tadi," ujar Pak Wisnu sambil membereskan buku-bukunya. "Oleh karena itu, saya ingin kalian membuat sebuah makalah tentang salah satu objek arsitektur yang sangat penting khususnya di negara India," ujar Pak Windu sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas.
Sedangkan para mahasiswanya sedang menyuarakan protes karena terlalu banyak tugas di minggu ini, namun dosennya yang berusia hampir setengah abad itu hanya tersenyum santai dan tidak memerdulikan protesan mahasiswanya.
"Batas pengumpulan tugasnya hari selasa dan hari jumatnya akan saya acak untuk maju presentasi," sambung beliau lagi. "Apakah ada yang ingin ditanyakan?"
"Pak. Untuk contoh objek arsitekturnya itu minimal berapa objek ya, Pak?" tanya salah satu teman sekelas Anya.
"Tidak usah banyak-banyak, minimal 20 objek saja," jawaban Pak Windu sontak membuat seisi kelas heboh, termasuk Anya. Tidak usah banyak-banyak tapi minimal 20. Wow, super sekali. "Ada lagi?"
"Tidak, Pak. Terima Kasih," jawab seisi kelas kompak. Kompak menolak sesuatu yang akan memberatkan lagi nantinya jika banyak bertanya.
Dan setelah Pak Windu keluar kelas, seisi kelas nampak menumpahkan kekesalan pada dosen mata kuliah Eastern Art Review tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Terduga
RomanceSelama ini, tak ada objek yang tak bisa aku torehkan ke dalam sebuah goresan gambar seni rupa. Namun, semenjak kau kembali datang di hidupku, aku sering salah menggoreskan pena. Bahkan, untuk menggambar sebuah titik yang paling mudah sekalipun aku...