13. Panggilan dari Semarang

2K 140 2
                                    

"Jangan-jangan lo suka ya sama Gandhi?!"

Lagi-lagi kalimat yang Diva ucapkan tadi siang itu sukses menghantui pikiran Anya hingga malam ini. Entah karena alasan apa, Diva bisa-bisanya menuding bahwa Anya menyukai Gandhi. Padahal Anya sendiri tidak mengerti dengan perasaannya, perasaan yang terlalu mengharapkan suratnya dibalas oleh Gandhi itu merupakan rasa suka atau hanya sekadar rasa antusias menyambut kembali sahabat lama saja.

Apakah mengharapkan surat balasan dari Gandhi itu termasuk tanda-tanda bahwa ia menyukai lelaki tersebut? Tentu saja bukan kan.

Anya menarik napas cukup dalam sebelum menetralkan pikirannya kembali. Jujur, selama 18 tahun Anya merasakan hidup di dunia ini, ia belum pernah sekalipun merasakan yang namanya jatuh cinta atau lebih tepatnya menyukai seorang pria sebagai tambatan hati. Bahkan sebelum Diva menarik kesimpulan konyol itu, Anya sama sekali tidak pernah sekalipun merasakan apa itu yang dinamakan suka pada lawan jenis.

Suka sama Gandhi? Anya hanya tertawa sumbang mendengar kata itu. Jangankan merasakan jatuh cinta, merasakan indahnya masa muda dengan dikelilingi banyak teman saja tidak bisa karena teman dekat Anya memang hanya Diva saja. Bahkan Gandhi pun apakah masih bisa Anya sebut sebagai teman dekat setelah lost contact selama enam tahun.

Mungkin perasaan Anya yang terlalu mengharapkan surat balasan dari Gandhi itu karena dia terlalu antusias dengan hadirnya kembali lelaki itu dihidupnya—sebagai teman lamanya—setelah enam tahun tidak ada komunikasi diantara mereka.

Sebelum mematikan lampu tidur berbentuk jamur yang sangat lucu menurut Anya, dia sempatkan menatap figura dirinya dengan Gandhi yang sudah terbingkai rapi di frame kayu berwarna putih tulang itu. Anya hanya bisa tertawa geli ketika melihat foto itu, karena foto itu ada berkat keisengan Gandhi yang memilih memotong foto berramai-ramai lalu menyisakan Anya dan Gandhi saja.

Setelah puas menatap foto dirinya dan Gandhi, Anya kemudian menarik selimutnya dan mematikan lampu tidurnya.

Ting... Ting...

Baru saja Anya mencoba memejamkan matanya, handphone-nya yang ada di nakas tiba-tiba berbunyi.

Anya meraba handphone-nya yang ada di nakas dan melihat dilayarnya siapa yang menelponnya jam segini.

Ternyata nomor tidak diketahui yang menelponnya. Anya nampak berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan itu, karena selama ini ia jarang memberikan nomornya ke sembarang orang, meskipun isi kontaknya hanya orang itu-itu saja. Jadi Anya nampak menimang sejenak sebelum menjawab panggilan itu. Dan baru saja ia akan menjawab, tiba-tiba panggilan itu terputus.

Namun, belum sampai Anya meletakkan handphone-nya kembali, nomor tidak diketahui itu kembali menghubunginya.

Karena penasaran siapa yang menelponnya malam-malam begini, Anya langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo?" sapa suara diujung sana.

"Maaf, siapa ya?" tanya Anya yang nampak bingung dengan nomor tidak diketahui tersebut.

"Anak tergantengnya Tante Dewi," kata seseorang diseberang sana.

"Ha?" sahut Anya bingung.

Kemudian terdengar suara tawa dari seberang sana. "Hahaha, Anya... Anya. Ini aku, Gandhi."

Anya langsung menarik handphone-nya menjauh dari telinganya, kemudian menatap layar handphone-nya yang menampilkan nomor tidak diketahui tersebut dengan raut muka terkejut.

Jadi, nomor tidak diketahui ini nomornya Gandhi.

Yang benar saja.

"Halo. Nya?" suara khawatir terdengar dari seberang sana yang langsung menyadarkan Anya bahwa ini bukanlah mimpi.

"Oh, iya, halo, Gan. Maaf, aku cuma kaget aja, kok tiba-tiba kamu nelpon aku," kata Anya sambil nyengir. "Ngomong-ngomong kamu dapet nomor aku dari mana, Gan?"

"Dari amplop surat yang kamu kirim tiga hari yang lalu," jawab Gandhi sambil terkekeh di seberang sana.

Anya hanya berohria dalam hati, jadi Gandhi mendapatkan nomornya dari surat yang ia kirim tiga hari yang lalu. Itu tandanya Gandhi sudah menerima surat balasan darinya, tapi kenapa lelaki itu tidak kunjung membalas suratnya.

"Nya? Aku ganggu ya?" tanya Gandhi yang nampak khawatir jikalau dia mengganggu waktu istirahat Anya.  Karena sejak tadi Anya hanya diam saja.

"Oh, nggak kok, Gan. Aku cuma kaget aja karena tiba-tiba kamu nelpon. Maaf."

"Harusnya aku yang minta maaf kali, Nya, malam-malam gini malah ganggu waktu istirahat kamu. Kamu pasti udah tidur ya, maaf deh aku udah ganggu. Kalau gitu matiin aja, kamu lanjut istira—"

"Iya nggak apa kok, lagian kamu juga udah terlanjur nelpon dan buat aku kaget, masa iya aku masih bisa tidur," kata Anya sambil terkekeh. "Kamu kenapa nelpon aku, Gan? Ada yang penting?"

"Emangnya kalau mau nelpon kamu harus ada hal penting dulu ya, Nya?"

Anya kembali terkekeh. "Bukan gitu maksudku."

"Jadi, aku ganggu nggak nih?"

"Nggak."

Kemudian hening yang menyelimuti percakapan Anya dan Gandhi selama beberapa detik.

"Nya?" panggil Gandhi dari seberang sana.

"Hm, kenapa Gan?"

"Aku udah baca surat dari kamu. Dan aku minta maaf kalau nggak bisa membalas suratmu, soalnya temen-temenku yang di Semarang pada main ke rumah. Pada ngucapin selamatlah inilah itulah dan mumpung aku masih cuti aku diajakin jalan-jalan terus sama mereka. Jadinya aku nggak sempat membalas surat dari kamu, deh. Sekali lagi aku minta maaf ya, Nya."

"Iya, nggak apa-apa." Kini Anya tahu kenapa Gandhi belum juga membalas suratnya padahal sudah tiga hari surat itu sampai di tangan lelaki itu. "Memangnya kamu cutinya berapa hari?"

"Dikasih cuti dua minggu," balas Gandhi diseberang sana.

Selanjutnya obrolan-obrolan kecil itu berlanjut hingga pukul tiga dini hari. Gandhi banyak bercerita tentang kepindahannya ke Semarang, mengenai sekolah SMP hingga SMA-nya di Semarang dan temen-teman barunya disana. Bahkan, ia juga menceritakan suka dukanya mendaftarkan diri menjadi taruna akpol. Gandhi juga bercerita panjang lebar tentang Tante Dewi yang sering mengomelinya kalau di rumah. Bahkan cerita-cerita itu berlanjut hingga menceritakan Om Tomo dan Mas Danar. Hingga tanpa sadar obrolan mereka berdua kadang tidak nyambung karena sama-sama sudah mengantuk, namun belum ingin mengakhiri percakapan telepon yang sangat seru untuk ditinggalkan itu.

Sampai akhirnya, sudah tidak ada suara lagi diseberang sana karena terdengar suara dengkuran halus orang yang sedang tertidur. Ya, nampaknya Gandhi telah mengantuk dan tertidur dengan pulasnya setelah hampir tiga jam berceloteh dengan Anya. Akhirnya Anya pun mengakhiri panggilan suara itu.

Anya tak pernah bertelepon selama ini dengan seseorang, bahkan berbicara dengan Gandhi lewat panggilan suara ini saja benar-benar mengasikkan sampai lupa bahwa keduanya membutuhkan waktu untuk beristirahat.

Selamat tidur, Gandhi. Ujar Anya dalam hati, sebelum ia menyusul untuk memejamkan mata.

BERSAMBUNG.

Selamat membaca :)

Senin, 30 Maret 2020 | salam, tmsky

Yang Tak TerdugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang