Bab 1

4.4K 308 60
                                    

Bulan ini sudah ketiga kalinya Laila pergi ke pernikahan temannya, dari teman kantor sampai teman SMA. Setiap orang yang bertemu dengannya di sana, pasti selalu bertanya "Laila, kamu kapan?" "Laila, mau nunggu apa lagi sih? Nyusul dong!"

Laila terkadang capek sendiri mendengar pertanyaan yang sama dari orang-orang. Karena apapun acaranya, topik obrolannya selalu ke arah sana. Sampai pergi ke warung kompleks rumah saja, nanti yang ditanyakan Ibu warungnya masih menyangkut pernikahan. Kadang kalau moodnya sedang bagus, Laila suka merespon belaga seperti orang bego yang rada-rada budek

Belum lagi kalau diajak kumpul acara keluarga, mau itu acara pernikahan, sunatan, aqikah, 2 kali lebaran, syukuran haji dan lain-lainnya, pasti ada saja pertanyaan melipir  ke arah sana, dan Laila sudah bosan mendengarnya.

Hematnya, dari pada hanya bertanya hal yang membuat kepalanya mumet kenapa tidak sekalian memberi solusi saja? Misalnya, mereka berinisiatif memberi modal biaya pernikahan atau sekalian mencarikannya pria yang dirasa cocok dengannya.

Dan yang paling membuat Laila kesal adalah saat mereka mulai menghubungkan kesibukannya bekerja atau status pendidikannya yang tinggi sebagai penghambat jodohnya. Padahal kedua hal itu bukanlah penghambat, karena memang pada dasarnya saja Laila belum siap.

💙

"Le, lo nyangka nggak kalau si Randi bakalan lebih dulu nikah dibanding lo?"

Ini si Ameera teman kantor Laila, cewek rempong sealam dunia yang kadang kalau Laila lagi kesel sama dia panggilnya jadi Amir saja. Kebetulan mereka lagi di pernikahan Randi, teman sewaktu SMA dan kebetulan sekarang menjadi kliennya juga.

"Nyangka-nyangka aja sih, dia mah cakep dan rajin tebar pesona juga." Laila berbicara sambil makan semur lidah sapi. Lidah sapinya enak banget, dan Laila akan bertanya kepada si Randi, katering siapa yang dia pakai ini.

"Tapi kok pesona Randi nggak sampai ke lo ya Le, dia kan sempat naksir banget sama lo."

"Ya masalahnya, gue nggak mau pacaran sama klien sendiri."

"Alah alasan." Kemudian Amir melipir ke antrean lidah sapi untuk kedua kalinya. Dia memang tidak tahu malu, padahal si Masnya sudah menatapnya dengan tatapan sinis.

"Laila!"

Laila menoleh karena ada yang memanggilnya, dan rupanya yang memanggilnya adalah sahabatnya sendiri.

"Lo tuh, gue jemput juga ke rumah malah pergi sendiri ninggalin gue." Dia mengomel, tapi tangannya langsung menyendok lidah sapi dari piring Laila. "Wih, enak ya."

"Enak lah, lo nggak perlu antri," sindir Laila, tapi yang disindir malah cengengesan.

"Udah salaman sama pengantinnya belum?"

"Belum, pas kesini langsung antre makan. Lapar soalnya."

"Ya udah, gue juga antre makan dulu."

Dia langsung pergi meninggalkan Laila, tapi baru beberapa langkah dia malah kembali.

"Lah kenapa balik lagi?"

"Lupa belum ngomong."

"Ngomong apaan?" Laila sedikit heran, mana dia memasang wajah so' manis segala lagi.

"Lo cantik," ujarnya, lalu setelah berujar seperti itu dia kembali lagi ke antrean. Dan respon Laila saat itu cuma mendelik dan lanjut makan saja.

Sahabatnya ini bernama Marwan Abdi Paradipa, bersahabat dengan Laila sejak masih SMA di Jakarta. Sekarang Laila sudah pindah ke Bandung, karena ayahnya dipindah tugaskan. Begitu juga dengan Abdi, yang awal tahun kebetulan dipindah tugaskan juga.

Laila, Nikah yu! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang