Abdi tidak tahu, dia bingung. Apa dia harus terus menginjak pedal gasnya menuju Bar di daerah Pasteur atau dia harus putar balik, ke daerah Pajajaran untuk memastikan apa yang dikatakan Dika adalah benar.
Masalahnya, Abdi tidak mau salah mengira. Dia takut, jika dia salah melangkah maka hubungan mereka akan berakhir selamanya. Dia tidak mau mengambil resiko, karena dia sudah melihat bagaimana pengalaman Dean dan juga Sheinna yang malah berakhir saling menyakiti satu sama lain.
Dikira setelah hubungan menjadi renggang, semua akan kembali seolah baik-baik saja? Dean masih mencintai Sheinna dan Sheinna tidak pernah melepaskan Dean, meski Sheinna sendiri sudah hidup bersama Elias. Semua tidak akan mudah. Dan Abdi, tidak mau hubungannya dengan Laila semenyedihkan mereka.
Abdi menepikan mobilnya, pikirannya begitu kacau tak karuan. Dia membuka kaca jendelanya untuk menghirup udara, agar dadanya tidak terlalu sesak.
Abdi melirik jam tangannya, dan waktu sudah menunjukan jam setengah 9 malam. Masih ada waktu untuk Abdi datang berkunjung menemui Laila. Namun lagi-lagi, ia begitu risau.
Abdi mengambil ponselnya dari saku jaketnya, lantas ia mengetap tombol panggilan dan menghubungi Laila. Abdi akan menyerahkan keputusannya kepada Laila.
"Halo.."
"Le.."
"Apa?"
"Lo belum tidur?"
"Belum. Lo dimana itu? Kenapa berisik? Lagi di jalan?"
Abdi menghela napas, dan perasaannya sedikit lega. Meski tadi siang dia merasa Laila sedikit bersikap berbeda, tapi sekarang Laila sudah kembali.
"Iya lagi di jalan. Tapi bingung mau kemana."
"Yaudah sini ke rumah."
Jika memang yang dikatakan Dika itu benar, kalau Laila menangis saat ia tinggal pergi bersama Raquel. Dan jika Dika benar, kalau Laila memiliki perasaan yang sama dengannya. Seharusnya, Laila tidak mengajaknya untuk datang ke rumahnya.
Seharusnya, Laila bersikap dingin padanya dan mendiamkannya. Seharusnya, sekarang Laila marah padanya dan tidak menjawab panggilan telefonnya. Tapi nyatanya, Laila malah bersikap biasa saja sebagaimana biasanya.
"Lagi mau makan apa? Biar nanti gue beliin sekalian."
"Lagi nggak mau makan apa-apa."
"Yaudah, tungguin gue."
"Iya."
Abdi memutus panggilannya, kemudian ia menginjak pedal gas dan memutar balik ke arah rumah Laila. Inilah keputusannya.
Meski Laila berkata ia tidak ingin makan apa-apa, berbeda dengan Abdi yang sedang ingin memakan makanan manis untuk menaikan moodnya. Jadi, ia mampir sebentar ke toko kue dan membeli dua jenis cake berukuran sedang.
Sesampainya di rumah Laila, Abdi mendapati hanya ada mobil Laila saja yang terparkir di garasi sedangkan mobil Abinya tidak ada disana.
"Assalamualaikum." ucap Abdi, sembari membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam." timpal Umi seraya berjalan menghampiri, dengan senyumnya yang tak pernah hilang untuk menyambut "anak kesayangannya" itu.
Umi bukannya membawa Abdi masuk ke dalam, melainkan ia membawa Abdi untuk duduk di ruang tamu. Melihat tingkah Umi, Abdi sedikit heran. Tapi, pada saat itu juga ia langsung paham. Pasti ini ada hubungannya dengan pertengkaran Umi dan Laila yang disebabkan olehnya.
"Kamu kesini udah bilang Laila dulu nggak?" tanya Umi, namun matanya melirik kedalam tas jinjingan berisikan cake.
"Udah Mi, Abdi tadi telefon Laila dulu. Kenapa emang?" Meski sudah tahu apa yang sedang terjadi, tapi Abdi berusaha untuk tidak menunjukannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Laila, Nikah yu! (Revisi)
RomanceMarwan Abdi Pradipa, atau yang akrab dipanggil Abdi dan kadang-kadang Mawar, adalah sosok playboy bersertifikasi yang sedang mencoba untuk bertobat. Alasan dia bertobat adalah satu, dia jatuh cinta kepada Laila dan ingin menikahinya. Namun perjuanga...