Setelah selesai sidang, Abdi berjalan ke dalam ruangannya sambil memeluk setumpuk berkas perkara. Di dalam ruangan tersebut tidak hanya di isi oleh Abdi seorang, di sana juga ada Pak Cece, seniornya sebagai hakim dan juga ada Mas Panji selaku panitera.
Sebenarnya Abdi tidak terlalu menyukai kehadiran kedua orang rekannya itu, karena mereka terlihat kejam di matanya. Mungkin, jika mereka tidak mengetahui siapa sosok Ayah Abdi, dan sepenting apa pengaruh nama besar keluarganya, mereka akan lebih semena-mena kepadanya.
Seperti sekarang, meski mereka tahu siapa Abdi, mereka tetap saja memberinya pekerjaan yang menumpuk. Satu perkara belum selesai, perkara lain sudah menunggu. Bagaimana jika Abdi hanyalah orang biasa? Mungkin mereka bisa saja menindasnya di luar konteks pekerjaan.
"Eh udah di sini ternyata, saya cariin di bawah tadi." ujar Mas Panji yang berjalan menghampiri meja Abdi dengan satu bundel berkas perkara.
"Emang kenapa Mas?" tanya Abdi basa-basi, karena sebenarnya dia sudah curiga dengan tingkahnya ini.
"Pak Sutoyo sakit, kamu bisa gantiin beliau sidang nggak?"
Dugaan Abdi benar.
"Sakit apa? Parah?"
"Biasa lah, kolesterol sama asam urat. Nggak bisa jalan beliau."
"Nggak coba ke Pak Agung aja?"
Abdi berharap Mas Panji bisa lebih mengasihaninya. Sebagai hakim yang baru beberapa bulan dilantik, Abdi benar-benar kewalahan.
"Pak Agung udah penuh, Ibu Dewi juga nggak bisa. Kamu ambil aja ya, ini perkara dispensasi nikah. Kamu belum pernah dapat perkara ini kan?"
Abdi terdiam, dia dalam posisi dilematis. Di sisi lain dia sudah kewalahan, tapi di sisi lain perkara yang diberikan Mas Panji belum pernah ia tangani sebelumnya.
"Pak Cece udah setuju. Bu Karin juga mau nemuin Pak Zul beres sidang, tapi beliau pasti mau. Gimana?"
"Ya udah." jawabnya setengah ikhlas.
"Sip, ini berkasnya." Panji menaruh berkas itu di atas tumpukan berkas yang lain, sehingga tumpukan pekerjaannya semakin tinggi.
"Bu Karin nggak berani minta langsung ke kamu, katanya nggak enak. Makanya berkasnya dititip ke saya."
"Loh kok gitu Mas? Padahal langsung aja, kalau gitu nanti malah makin canggung."
"Emang kamu nggak sadar ya, seberapa canggungnya staf di sini? Bahkan Pak Ketua aja ngerasa canggung sama kamu."
Abdi termenung.
"Staf di sini sering bicarain kamu diem-diem."
"Termasuk Mas?"
Panji terkekeh. "Ya kalau saya cuma jawab aja kalau ada yang nanya tentang kamu. Mau gimana lagi? Kita seruangan."
Panji berjalan menuju mejanya, lantas ia kembali mengerjakan pekerjaannya.
"Nggak usah dipikirin Di, wajar mereka canggung dan masih penasaran sama kamu. Nanti lama-lama juga biasa aja." ujar Panji, yang mendapati Abdi kembali termenung.
Tak lama kemudian Cece, seniornya masuk ke dalam ruangan dengan senyum lebar sambil melirik ke arah Abdi.
"Di, kamu udah terima undangan pernikahan dari saya?"
Abdi menoleh. " Udah Pak."
"Nanti ajak pacarnya."
"Pacar?"
"Kata Panji, kamu udah ada pacar. Kemarin kalian ketemu kan di bioskop?"
Abdi melirik ke arah Panji yang tersenyum lebar padanya, tanpa sama sekali merasa bersalah telah menyebarkan gosip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laila, Nikah yu! (Revisi)
RomanceMarwan Abdi Pradipa, atau yang akrab dipanggil Abdi dan kadang-kadang Mawar, adalah sosok playboy bersertifikasi yang sedang mencoba untuk bertobat. Alasan dia bertobat adalah satu, dia jatuh cinta kepada Laila dan ingin menikahinya. Namun perjuanga...