Bab 11

1K 221 72
                                    

Setelah mengantar Laila pulang, Abdi langsung pulang ke rumahnya dan tidak mampir terlebih dahulu. Bukan tidak mau, tapi Laila sudah lelah dan memaksa Abdi untuk segera pulang saja. Tahu sendiri, jika Abdi dan Laila terus bersama, energi mereka berdua akan benar-benar habis terkuras.

Jalan menuju komplek rumahnya, terbilang cukup sepi. Biasanya hanya ada satu jalur angkot yang biasa lewat di sana. Sekarang sudah hampir jam 9 malam, dan tidak terlalu banyak aktifitas di jalan. Enaknya jika jalan sudah sepi begini, Abdi bisa menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.

Tibalah dia di komplek rumahnya, dan Abdipun mulai menjalankan motornya dengan pelan. Abdi lantas tidak langsung pulang begitu saja ke rumahnya, melainkan ia menepi dulu saat di pos satpam.

"Pak Sidik!"

Orang yang dipanggil menoleh dan tersenyum saat mengetahui Abdi sedang menjulurkan tangannya menyerahkan bungkusan kantong keresek berwarna putih.

"Ini enak buat nemenin ngopi, biar nggak kembung." ujarnya.

Pak Sidik mengambil bungkusan itu dan mengintip isi di dalamnya. "Alhamdulillah, makasih yah."

"Siap Pak! Tapi saya nanti nggak ikut ngumpul di pos ronda, soalnya besok udah harus kerja."

"Iya, iya nggak apa-apa. Tapi ini beneran makasih loh." ujar Pak Sidik sambil mengangkat bungkusannya.

"Sama-sama Pak. Ya sudah saya pulang dulu, mari Pak."

Setelah pamit, Abdi kembali melaju menuju rumahnya yang berada di blok paling ujung.

Saat ia mengendari motornya dengan perlahan karena banyaknya polisi tidur di sepanjang jalan, lampu motornya menyoroti sesosok perempuan sedang berjalan di depannya. Abdi sedikit penasaran, karena dilihat dari belakang saja proporsi badan perempuan itu cukup bagus. Langsing, tinggi semampai, berambut panjang bergelombang, memakai rok span yang ketat, tapi bertelanjang kaki. Sepatu heelsnya malah ia jinjing.

"Cakep nih." Batinnya.

Namun tiba-tiba saja, perempuan itu duduk berjongkok begitu saja di pinggir jalan sambil membanting heelsnya terlihat kesal.

"Rada gila." Batinnya lagi.

Saat motornya melewati perempuan tersebut, Abdi melirik ke arahnya. Wajahnya tidak terlihat karena posisinya menunduk, namun suara isak tangisnya bisa terdengar begitu jelas.

Abdi memang brengsek, tapi dia masih memiliki hati nurani. Dia tidak setega itu untuk membiarkan perempuan menangis di pinggir jalan malam-malam begini. Akhirnya, dia memutar balik motornya, lalu ia berhenti tepat di depan perempuan tersebut.

"Mbak.."

Perempuan itu buru-buru mengusap wajahnya, dan mendongak menatap Abdi.

"Cantik." Batin Abdi. "Mbak kenapa nangis di sini?"

Perempuan itu tidak menjawab, ia bergegas berdiri dan berjalan meninggalkan Abdi.

"Dih, malah pergi. Muka gue kek begal apa?" gumam Abdi, tapi dia tidak mau ambil pusing dan kembali melajukan motornya.

Brugh

Abdi mengerem mendadak, saat perempuan di depannya itu jatuh tersungkur ke aspal.

Lagi-lagi, karena rasa kemanusiaannya, Abdi kembali mendekati perempuan itu. Dan saat Abdi hendak menolongnya, perempuan itu menoleh dengan tatapan sinisnya.

"Saya nggak perlu ditolong!" bentaknya, yang sukses membuat Abdi terkejut.

"Oh, oke. Permisi." ucap Abdi.

Laila, Nikah yu! (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang