26. Kenyataannya

212 38 1
                                    

Terkadang takdir memang sekejam ituTerkadang, manusia tidak bisa melakukan apa apa untuk kebahagiannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang takdir memang sekejam itu
Terkadang, manusia tidak bisa melakukan apa apa untuk kebahagiannya sendiri

....

Mungkin, begini takdirnya.

Barangkali, Dimas memang harus menerima kenyataan kalau Asyifa bukan diperuntukkan untuk dirinya.

Dengan hati yang sakit berlumuran darah, lelaki itu mencoba tabah dengan keadaan. Tapi siapa sangka keadaan bertambah rumit?

Sipa setelah hari itu, pagi hari ketika Dimas mengantarnya pulang ke kosan. Hari berikutnya, gadis itu hanya mengirim sebuah pesan singkat dan mengatakan kalau dia pulang ke Semarang.

Just it!

Pulang yang dimaksud Sipa rupanya berbeda dengan apa yang dibayangkan Dimas. Pikirnya, Sipa hanya akan pulang beberapa hari karena bapak masih sakit dan membutuhkan hadirnya, nyatanya sudah sebulan dan gadis itu tak kembali.

Kamar kosnya kosong. Tetangga kamar Sipa bahkan memberitahunya kalau kamar Sipa sudah kosong sebulan ini, kosong dalam artian tidak ditempati dan tak bersisa satupun barang milik gadis kelahiran Semarang itu. Ibu kos juga mengkonfirmasi bahwa benar, Sipa sudah pamit sebulan lalu.

Kedua, tempat kerja Sipa. Saat Dimas bertanya kesana, ia mendapati informasi serupa. Bahwa Sipa sudah resign.

Terakhir, Adara. Dimas memiliki harapan bahwa Adara bisa mengkontak Sipa, setidaknya jika Sipa tidak ingin dihubungi oleh Dimas, paling tidak dengan Adara tidak demikian. Mereka bersahabat sudah seperti saudara, seharusnya tidak demikian bukan? Nyatanya. Baik Adara maupun Kharisma, keduanya lost contact dengan Asyifa.

Keinginan Dimas untuk mengakhiri hubungan dengan jalan yang baik dengan harapan tidak menimbulkan luka yang lebih dalam sudah pupus. Sipa memilih akhir yang berbeda darinya.

Ingin hati menyusul Sipa ke Semarang tapi seolah antara hati, pikiran dan tubuhnya tidak pernah sejalan. Sebulan ini merupakan hari-hari terberat baginya, sangat berat hingga rasanya seperti tak bergairah untuk menjalani setiap aktivitas.

Selain hilangnya Asyifa kegiatan perkuliahan akhir tahun benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Acara-acara tutup tahun, administrasi UKM, Ujian Akhir Semester, tugas dan persiapan masuk semester baru. Rasanya seperti ingin resign dari kehidupan.

Dimas bukan tipe orang pesimis, ia benar-benar lelaki yang penuh dengan energi positif seharusnya. Bahkan ketika menjalankan tes-tes akselerasi saat SMA, ia merasa baik-baik saja dan merasa begitu senang dengan hal yang dinamakan belajar. Namun sebulan yang sudah ia lalui ini, rasanya berbeda. Ada satu hal yang menekan pikirannya tetap tertutup dan suram. Kegiatan belajar dan perkuliahan tiba-tiba saja membuatnya muak dan kelelahan.

Bunda Widara menjadi salah satu dari sekian orang lainnya yang merasa paling sedih melihat Adimas menjadi seperti itu.

Tiga hari sejak Dimas berada dirumah Surakarta, sejak hari itu pula Dimas serasa seperti bukan putranya. Dimasnya yang lebih sering berbicara, berceloteh, bermanja padanya berubah menjadi pendiam dan murung. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur atau menonton layar televisi dengan pandangan kosong. Mengabaikan ruang bermainnya yang sudah terisi fasilitas permainan yang lengkap disertai home theater.

{✔️Complete} NEURONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang