03. Assistance

1.8K 226 158
                                    

"Sampai kapan pun, aku jelas tidak akan pernah mau melepaskan Seulgi."

Gadis yang berada di sampingnya cuma menyahut lirih tanpa niat, "Lalu? Kau pikir aku peduli?"

"Tidakkah kau merasa bersalah sedikit saja padaku, Hwan?" Vokal Jimin kembali mengudara dan Seilhwan masih enggan menolehkan kepala, masih betah untuk kalut di dalam pikirannya sendiri seraya memandang pepohonan di malam hari yang sebetulnya tiada memiliki arti. Barangkali itu merupakan hasil dalam bentuk perkataan dari sekelumit alasan mengapa pemuda Park mengekspos roman perat sejak tadi, ekspresi yang diungkapkan jelas terpandang kelewat berbeda apabila dibandingkan dengan tingkah yang dilakukan ketika dia sedang bersama sang ibu beberapa waktu lalu. Kemudian, Jimin meneruskan, "Apa betul-betul tak ada perasaan salah sedikitpun ketika kau baru saja menghadirkan presensimu ke dalam hidupku lantas menghancurkan semuanya tanpa sisa? Termasuk hubungan yang telah kupertahankan selama bertahun-tahun dengan Seulgi? Oh, gila, ya?"

Membiarkan lantunan lagu demi lagu memuat liang telinganya melalui sepasang benda elektronik berwarna hitam kecil tanpa kabel yang merupakan hasil dari teknologi manusia yang terus semakin maju dari hari ke hari, Seilhwan lantas menoleh cepat tatkala Jimin serta-merta bicara tanpa permisi selepas situasi hening mengisi mobil mereka kian lamanya. Dalam hitungan detik, kendaraan tersebut langsung dihentikan karena eksistensi warna merah yang mendadak muncul di depan sana dan lelaki yang kini tengah duduk di kursi kiri melanjutkan ucapannya, "Aku betul-betul tak mengerti kenapa kita harus dipertemukan dengan cara seperti ini, sialan."

Merasakan kedua telinga dan kepalanya mulai memanas, gadis Im buru-buru mendengus tak habis pikir bersama tatapan tidak suka yang tak kunjung lenyap dari netra cantiknya. "Kenapa kau malah terus-menerus mengeluh lantas mengumpat ke arahku, Brengsek?" Seilhwan lekas kembali meneguk minuman di dalam genggaman yang belum lama dia beli tadi di pertengahan jalan pulang melalui sedotan kecil dan kembali bicara, "Mengeluh padaku dengan cara melontarkan ratusan juta kata sampai mulutmu berbusa juga tentu tidak akan ada gunanya, Tolol. Sebab aku ini jelas tidak punya kekuatan Dewa untuk mengubah takdir dengan gampangnya."

Sejurus kemudian, Jimin ikut memalingkan tampang. Kedua irisnya menjumpai milik Seilhwan yang tertentang tajam. Masih belum menjalankan mobil sebab lampu merah belum kunjung terbenam dari rambunyaㅡpria tersebut kemudian menyunggingkan sedikit senyum lalu menanggapi, "Pandai bicara, ya? Tidak mau disalahkan?"

"Berisik," sahut si gadis. Dia menolehkan tatapan ke arah depan sebelum kembali meneguk minuman matcha-nya, "Cepat jalan lalu antarkan aku ke rumah temanku."

"Kau pikir aku supir?"

Bacot sekali.

"Kau yang menjemput, maka kau juga yang harus mengantar pulang. Tidak punya rasa tanggung jawab, ya? Lelaki macam apa?"

Jimin mengangguk paham, lantas kembali menjalankan mobilnya selepas mendeteksi beberapa klakson yang mulai bersuara dari belakang. "Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang ke rumah sendiri, bukan rumah temanmu mau pun rumah calon suamimu."

"Idih?" katanya jijikㅡnyaris membuat Seilhwan ingin menyemburkan minuman bercorak hijau yang sudah menempati mulut kecilnya ke arah wajah sok tampan milik Jimin. Lagi pula siapa juga yang berniat datang ke rumah si Park itu, sih? Jangankan untuk mampir, berpikir untuk memasuki halaman rumahnya saja tidak. Jadi, kalau boleh, ingin sekali gadis tersebut meminta pada Jimin untuk pisah rumah kendati mereka telah menjadi keluarga nantinya. Boleh begitu saja tidak, sih? Dan benar saja, Seilhwan ternyata betul-betul melontarkan keinginannya pada calon suami. "Nanti kalau sudah menikah, kita pisah rumah saja, ya, Jim? Siapa tahu barangkali ada rumah kecil yang disewakan di sekitar tempat tinggalmu, aku menetap diri di situ saja, deh. Tiddak apa-apa, kok."

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang