12. Opportunity?

1K 141 87
                                    

"Hei, terima kasih untuk hari ini, ya. Karena sudah mau kurepotkan, hehe." Merupakan kalimat pertama yang Seilhwan ucapkan selepas mereka selesai membeli gaunnya tadi. Gadis itu juga meneruskan saat Jimin memandangnya dengan seulas senyum tipis, semacam, "Ngomong-ngomong, aku sangat bahagia karena akhirnya bisa membeli gaun impianku lho, Jim. Tidak pernah kusangka, sih. Sebab aku kira barangkali aku tak akan pernah bisa memakai gaun itu saat menikah nanti."

"Ya. Sama-sama." Sejemang terdiam, lawan bicaranya lantas mulai menyentuh stir mobil lagi, menginjak pedal gas sekali dan kembali menyambungkan ucapannya dengan sedikit datar, "Lagi pula kalau membahagiakan orang itu bisa dapat pahala, 'kan."

"Yea, tentu saja." Seilhwan kemudian buru-buru menyahut sebelum mengangkat ponselnya yang mendadak berdering pada beberapa sekon yang lalu. "Ada apa lagi, Tae? Aku sudah mengirimkan alamat Cafe-nya padamu tadi, 'kan?"

Kemudian hening.

Lantas Seilhwan termenung selama sedemikian detik sebelum memperoleh respon dari ujung telepon, gadis itu agaknya hendak cepat-cepat memblokir nomor milik Kim Taehyung andaikata ia tidak ingat bahwa tindakan tersebut barangkali sanggup membuatnya terjebak di dalam lingkup persoalan yang lebih serius. Seilhwan dapat merasakan kepalanya tiba-tiba terasa pening. Ia kemudian mengeluarkan helaan napas berat, memijat pelipis lalu kembali terdiam guna menunggu jawaban dari seberang sana. Lagi pula, mengapa—

"Seil, maaf." Taehyung mendadak berkata lirih, mengganggu pikirannya. "Sepertinya kita tak bisa bertemu sore ini."

Berita yang bagus, pikir gadis itu. Namun, dia jelas-jelas tetap mesti mengutarakan sebuah pertanyaan supaya Seilhwan seolah merasa bingung. "Ha? Kenapa kau tiba-tiba membatalkan janji seperti ini, Tae?"

"Perutku mendadak sakit, sepertinya penyakit maag-ku kambuh lagi, jadi nanti tidak bisa pergi." Pemuda tersebut tertangkap tengah meringis kecil. "Maaf, ya."

Seilhwan terperangah. Gadis itu serta-merta melebarkan mata kemudian menanggapi kembali, "Tunggu, tunggu, apa? Kok bisa? Kenapa bisa mendadak kambuh seperti itu? Kau melewatkan banyak waktu makan, ya?"

"Ah, Seil." Taehyung serta-merta terkekeh, lantas melanjutkan dengan suara menggoda, "Kamu khawatir, ya?"

"Ck. Bukannya begitu," cetus Seilhwan sesaat kemudian, serta-merta mendecak sebal. Tetapi hal yang perlu kalian tahu, segenap pertanyaan yang baru saja si gadis lontarkan tadi itu sebenarnya memang merupakan sebuah konfigurasi dari kepedulian. Seilhwan memang khawatir terhadap kondisi Taehyung, dia tidak sedang berpura-pura sekarang. Kendati masih ada banyak tumpukan kebencian terhadap pemuda tersebut yang tinggal di dalam lubuk hatinya, namun Seilhwan juga tak dapat berbohong kalau sampai detik iniㅡdia jelas masih menaruh banyak atensi terhadap presensi Taehyung. Mana lagi apabila mengingat perihal tentang takdir yang sekonyong-konyong kembali mengirimkan sosok lelaki itu ke dalam kehidupannya, sanggup menerbitkan banyak pertanyaan di kepala Seilhwan mengenai apakah dia harus mulai mencoba untuk memperbaiki semuanya selepas gadis itu memaafkan segenap kesalahan yang telah diperbuat? Ah, sial, sial. Itu jelas merupakan sebuah keputusan yang kelewat pelik. Seilhwan absolut masih belum sanggup. Sebab dia takut memperoleh luka yang lebih menyakitkan lagi.

Lantas, Seilhwan dapat mendengar Taehyung yang tiba-tiba berdeham di ujung sana. Aduh, sial. Mengapa suaranya tertangkap begitu seksi sekali di telinga gadis itu, sih? Sebab untuk beberapa kejujuran yang tak mampu ia ungkapkan dengan terang-terangan, rasa rindu beserta segenap kenangan manis seakan mendadak timbul di dalam pikiran, membuatnya tetap diam untuk mendengar vokal Taehyung yang tertangkap cukup serak pada detik berikutnya, "Berarti kamu tidak khawatir? Maag-ku sedang kambuh, loh. Sakit sekali rasanya, tahu."

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang