16. Nightmare

1K 148 102
                                    

Pada sore itu, Seilhwan terlihat beberapa kali mengusap netranya pelan untuk memastikan bahwa bangunan besar yang bertumpu persis di hadapannya sekarang ini sungguh merupakan rumah yang Park Jimin beli pada waktu lalu saat lelaki tersebut tahu bahwa mereka akan menikah dalam waktu dekat. Roman Seilhwan kelihatan cukup tercengang, terlebih lagi ketika dia serta-merta tersadar dari lamunan saat Jimin mendadak bersuara—menyuruhnya untuk segera masuk ke rumah baru mereka.

Seilhwan lantas menghentikan langkah di ruangan utama, memutuskan untuk meletakkan koper besar miliknya di dekat sofa panjang padahal Jimin tadi sudah berkata padanya untuk segera membawa barang-barang bawaan mereka ke dalam kamar dan merapikannya. Tetapi kini perempuan tersebut malah berdiri di sini, termenung seraya memandang Jimin yang masih melangkah maju di depan. "Ini sungguhan rumah milik kita, Jim?"

"Hm?" Jimin yang tadinya sedang menyeret koper besarnya menuju kamar sontak menoleh ke arah sang istri yang ternyata sudah menghentikan langkah di belakangnya.

"Kenapa kau membeli rumah yang seperti ini, sih?" tanya Seilhwan lagi. "Ukurannya terlalu besar untuk dua orang, tahu. Kau seperti ingin mengajak semua orang di satu desa untuk tinggal bersama saja."

"Kau ini ... kenapa suka sekali melontarkan protes, sih?" Kening pria itu serta-merta mengerut selepas membalikkan badan—menghadap ke asal suara. Lantas Jimin malah kembali melontarkan sebuah pertanyaan yang sanggup membuat wanita di depannya ikut mengerutkan kening—kelihatan tak mengerti. "Yang penting sekarang kita punya tempat tinggal dan itu jelas sudah lebih dari cukup. Jadi tolong, ya, Nona, mulai sekarang kau harus belajar untuk lebih bersyukur terhadap apa yang sudah kita punya, oke?"

Seilhwan merasakan telinganya mulai memanas. "Apa? Bukan seperti itu maksudku!"

"Sudah, sudah. Masih bagus aku mau mengeluarkan banyak uang untuk membeli rumah ini. Lagi pula, kau itu harusnya bersyukur karena bisa mempunyai suami kaya sepertiku, Hwan." Menghela napas dan serta-merta tersenyum, Jimin kembali meneruskan, "Sudah kaya, tampan pula. Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kau dustakan, hm?"

Melihat Jimin yang sekonyong-konyong menyombongkan diri sendiri, Seilhwan hanya mendengkus sembari menahan rasa ingin muntah saat mendengarnya. Dianggap konyol. Sebab menurut seorang Seilhwan, memang apa bagusnya andaikan dapat memiliki suami yang kaya dan tampan tetapi tidak terpendam sedikit pun rasa cinta di dalamnya? Itu semua jadi terasa percuma saja, bukan? Jadi, satu-satunya hal yang perempuan tersebut katakan pada saat berikutnya hanyalah, "Halah, biasa saja, tuh. Aku bahkan bisa dengan mudahnya menemukan banyak lelaki sepertimu di luar sana untuk dijadikan suami, Jim."

"Tetapi tidak ada pria tampan dan kaya yang memiliki kadar keimutan sepertiku, tahu."

Seilhwan mencibir, "Hilih." Wanita itu menggeleng-geleng tidak habis pikir, lantas tiba-tiba mendaratkan bokongnya pada permukaan sofa kala menyahut serius, "Lagi pula Jim, memangnya kau tidak takut, apa? Mempunyai rumah yang kelewat besar begini."

"Apa?"

Seilhwan menghela napas panjang. Dia menatap Jimin lekat, ekspresinya tampak begitu serius. "Takut ada hantu," katanya. "Siapa tahu sempat ada kejadian bunuh diri atau apa di sini? Ih, mengerikan. Mana rumahnya besar sekali, lagi. Aku betul-betul tidak bisa membayangkan bagaimana nanti kalau hari sudah malam. Hawanya pasti terasa menegangkan sekali."

"Hah?" Lelaki itu menaikkan salah satu alis, sama sekali tidak berpindah posisi saat menanggapi pemikiran Seilhwan yang cukup aneh, "Kau ini sedang bicara apa, sih? Kenapa bisa-bisanya kau takut bertemu dengan keluarga sendiri begitu."

Perempuan itu arkian mengerjap agak bingung. Kepalanya sejemang tengah mencerna seluruh perkataan Jimin barusan sebelum menyahut pelan, "Keluarga—apa?" Seilhwan membeku sejemang kemudian otaknya serta-merta menyadari sesuatu. "Oh ... sialan kau, Park Jimin."

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang