20. Disregard

784 124 104
                                    

Guyuran air hangat yang menyapa kepala Seilhwan kini hampir terasa serupa siraman rohani yang pernah diperoleh perempuan itu tatkala dia baru selesai menghadiri acara kebaktian di Gereja. Membuat hati dan pikiran menjadi lebih tenang dalam beberapa saat selepas dia baru saja melewati kejadian yang sanggup membuat kepalanya sakit. Ha, benar-benar merepotkan.

Ya Tuhan.

Arkian selama beberapa sekon setelahnya, Seilhwan berdiri membatu di depan pintu kamar mandi seraya memandang kamarnya yang terasa begitu lengang selepas membalut tubuh dengan bathrobe berwarna gelap, mengabaikan tetes demi tetes air perlahan jatuh dari surainya yang basah lantas melangkah ke luar ruangan. Well, dia nyatanya sungguh tidak menjumpai satupun presensi manusia di rumah ini. Benar. Jimin realitasnya betul-betul tidak ingat pulang setelah pergi entah ke mana pada sore tadi dengan tidak sopannya. Menghilang tanpa pamit dan tanpa izin. Benar-benar kurang ajar.

"Jadi, apakah malam nanti aku akan tidur sendirian di rumah ini?" Seilhwan berujar pada dirinya sendiri sesaat kemudian, menuruni tangga untuk menghampiri pintu depan yang belum dikunci rapat. "Demi Tuhan, ini sungguh merupakan kemalangan yang hakiki. Sial."

Ha, bukan apa-apa. Dia hanya tidak punya keberanian yang cukup untuk tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Hanya merasa sedikit takut. Iya, sedikit. Sebab kini kepalanya tak kunjung berhenti memikirkan beberapa probabilitas yang jelas terasa buruk untuk diberi atensi ketika tengah berada di kondisi yang seperti ini. Salah satunya adalah pemikiran tentang bagaimana jika penghuni bangunan mewah ini dulu pernah melakukan aksi bunuh diri? Kemudian arwahnya diam-diam masih bergentayangan sampai sekarang? Lalu nanti malah mengganggu serta menakut-nakuti Seilhwan yang sedang tidur sendirian di kamarnya?

YA! SERAM SEKALI.

Oke, Seilhwan sungguh merasa geram sekaligus ngeri sekarang. Apalagi tatkala dia serta-merta menyadari bahwa kisah percintaannya betul-betul tidak pernah berjalan mulus seindah cerita asmara yang ada pada drama ataupun buku fiksi yang pernah dia baca.

Ha, tentu saja. Lagi pula memangnya kau pikir apa gunanya Tuhan menciptakan surga dan neraka di akhirat apabila para manusia pada zaman sekarang malah terus-menerus berharap andaikata mereka setidaknya bisa menjalani hidup tanpa masalah dan tanpa beban sebentar saja? Padahal di dalam setiap perkara yang takdir turunkan pada masing-masing kehidupan yang insan punya itu absolut memiliki hikmah tersendiri bagi yang merasakan. Entah disadari ataupun tidak.

Lantas, belum sempat Seilhwan selesai menuruni tangga kemudian berniat untuk mengunci pintu masuk dengan benar, dia justru sekonyong-konyong menangkap suara deru mesin mobil yang perlahan mendekat dari depan. Jimin? Well, alih-alih berlari untuk menjawab kuriositasnya mengenai siapa yang baru saja datang pada malam ini, Seilhwan malah tiba-tiba menghentikan langkahnya di pertengahan jalur tangga; menyipitkan penglihatan lalu menjumpai presensi Jimin yang baru saja menutup pintu dengan ekspresi datar.

Wanita tersebut sungguh masih bertumpu pada tempatnya sementara Jimin perlahan menaiki tangga tanpa menyadari eksistensi istrinya di depan mata. "Lho, kok pulang?" tanya Seilhwan pada akhirnya, membuat atensi lelaki itu langsung menuju ke arahnya.

Menangkap vokal tersebut, Park Jimin lantas berhenti melangkahkan kedua tungkai. Dia sekonyong-konyong menyunggingkan senyum tipis yang entah mengapa tertentang serupa tengah tidak peduli. "Seharusnya kau bertanya kenapa aku baru pulang sekarang, Sialan." Jimin merespons dingin sekali.

"Kupikir malah barangkali kau tak akan kembali ke sini." Seilhwan menaikkan salah satu alis, bingung. "Tetapi ternyata kau masih ingat rumah? Berarti apakah aku tidak jadi tidur sendiri nanti?"

Jimin membeku, kemudian menghela napas kasar. Lelaki itu jelas masih merasa kalut dengan apa yang telah terjadi pada sore tadi, juga masih merasa bingung dengan beberapa ganjalan yang terus menghampiri rasionya hingga kini. Jadi, memandang istrinya yang tengah berdiri persis di depan matanya, Jimin berujar kembali, "Mana mungkin, Hwan? Aku pulang bukan untuk kembali menetap. Aku hanya ingin mengambil beberapa barang yang aku butuhkan lalu aku akan pergi lagi."

Seilhwan serta-merta mengerutkan dahi. "Kenapa begitu? Kau marah padaku?"

"Pikir saja sendiri."

"Aku sudah memikirkannya tadi, kok. Bahkan sampai nyaris gila," katanya pelan bersama majas hiperbola yang disengaja. "Tapi malah tak kunjung menemukan jawaban yang pasti. Jadi sekarang aku memutuskan untuk bertanya."

Bukannya menanggapi pertanyaan, pria itu malah menarik napas pelan. "Minggir."

Ah, dia benar-benar sedang emosi rupanya.

Seilhwan kemudian tidak mengatakan apa-apa, tengah berusaha untuk mengerti kendati jelas terasa sulit sebab dia realitasnya memang tidak banyak mengetahui tentang akar dari persoalan ini. Netranya hanya mengamati Jimin yang serta-merta melewati tubuhnya guna mengambil beberapa barang dengan apatis, tidak membutuhkan durasi yang begitu lama untuk keluar dari kamar lalu kembali menghadapi istrinya dengan beberapa bawaan di tangan.

"Apa kau akan kembali ke sini lagi, Jim?"

Jimin tertawa remeh. "Apa pedulimu?"

Seilhwan menggeleng tanpa dosa. "Bukan peduli, hanya penasaran." Perempuan yang kini berdiri di belakang Jimin tersebut meneguk saliva kaku. Atmosfer di sekitar serta-merta mengirim rasa tidak nyaman—perasaan gelisah yang membuat dada Seilhwan kembali terasa sesak, namun dia masih tetap berusaha untuk menanggapi dengan setenang mungkin. "Aku hanya berpikir ... jika nanti tidak ada eksistensimu lagi di sini, mungkin akan lebih baik kalau aku ikut pergi juga? Sebab aku tidak bisa tinggal sendirian di rumah ini."

"Terserah. Lakukan sesukamu," ketus Jimin sebelum dia betul-betul kembali menghilang setelah membanting pintu depan dengan keras.

Ya. Kurang ajar.

Sejurus kemudian, Seilhwan tertentang mengekspos roman tidak terima kala menjumpai Jimin pergi dengan ketidakjelasan begitu saja. Menggeleng-geleng tak habis pikir dan buru-buru mengunci pintu, dia lantas menarik napas dalam-dalam—berusaha untuk tetap bertingkah kalem seakan tidak ada perkara rumit serta interlokusi memusingkan yang baru saja terjadi. Well, setidaknya kini dia harus mati-matian berdoa supaya dapat tertidur nyenyak malam ini tanpa mimpi buruk yang menghampiri. Manalagi andaikata mengingat bahwa Seilhwan nanti akan terlelap dalam kesendirian, 'kan? Nah. Mungkin dia harus menelepon Yoongi lagi supaya kecemasannya bisa sedikit terobati. Dia bisa. Pasti.

Menangkis rasa takut juga cemas, tungkainya lantas kembali melangkah dengan perlahan ke arah kamar. Sebelum benar-benar menaiki anak tangga, wanita itu sesaat memandangi halaman depan—melalui kaca jendela—yang kembali tampak sepi tanpa tanda-tanda eksistensi kendaraan milik Jimin yang sempat diparkirkan asal tadi. Ah, jadi dia benar-benar pergi?

Ya, tentu saja. Memangnya apa lagi yang dapat dia harapkan dari semua kejadian pelik ini?

Jadi, sebelum malam itu berakhir dengan lambat; tatkala Seilhwan nyaris tersedak salivanya sendiri selepas menutup pintu kamar, perlu beberapa menit lamanya untuk Seilhwan berganti pakaian lantas membaringkan diri dengan nyenyak di atas ranjang sendirian bersama ponsel dalam genggaman yang diletakkan asal—tengah menunggu seseorang di seberang sana untuk menerima panggilannya sebab dia tahu bahwa kesadarannya di setiap malam itu seringkali sulit dijemput.

Arkian terpendam sekelumit afeksi kecewa saat teleponnya tak kunjung memperoleh jawaban selama kurang lebih dua puluh menit. Jadi Seilhwan cuma bisa menghela napas sabar kala suasana keheningan di malam hari perlahan mencuri kesadarannya, kedua penglihatan yang mulai tertutup sepenuhnya dan akhirnya dia benar-benar terlelap dengan sendirinya tanpa obrolan ringan bersama Yoongi yang tadi sempat direncanakan. Tertidur bersama helaan napas yang tertangkap begitu teduh. Kendati awalnya memang terasa damai, Seilhwan tentu belum menyadari bahwa faktualnya masih terdapat presensi terowongan mimpi buruk yang diam-diam sudah siap untuk kembali menyambutnya di alam bawah sadar sana—sebuah terowongan yang sukses terbentuk atas komposit dari penyesalan serta ketakutannya di masa lampau, yang kerap menemuinya pada malam-malam tertentu.

Namun sebelum Park Seilhwan sempat kembali menjumpai mimpi buruknya pada malam ini, menerima bayangan yang sanggup membuat pasokan air matanya habis dalam sedemikian detik—suara asing yang entah datang dari mana kemudian sekonyong-konyong bergema di dalam kepalanya, mengetuk paksa gendang telinga, serta kembali menggores luka yang masih basah pada jiwanya kemudian mengirim wanita tersebut ke dalam semesta kelam yang tak akan pernah bisa dihancurkan. Lantaran di dalam sana; terdapat eksistensi seorang gadis kecil dengan wajah berlumur darah yang berdiri di kejauhan, serta-merta menghampirinya sembari berbisik dengan penuh kepiluan, "Ma, aku merindukanmu. Jadi kapan Mama mati untuk menemuiku di sini?" []

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang