25. Way to Love

893 122 106
                                    

Hal luar biasa pertama yang Jimin jumpai pada malam ini adalah realitas bahwa lelaki tersebut tidak pernah menduga ternyata akan ada pertemuan mendadak yang harus dia ikuti setelah pekerjaannya selesai—membuat Jimin lagi-lagi harus pulang kelewat larut seperti ini. Kemudian, hal menakjubkan kedua yang pria itu temukan pada pukul nyaris satu malam semacam ini adalah sebuah eksistensi mainan berukuran cukup besar yang terletak di dekat meja ruang tengah. Oh God. Ini rumah boneka barbie milik anak tetangga bagian mana? Kalakian tanpa pikir panjang, Jimin lekas melangkahkan kaki mendekat ke arah mainan asing tersebut, tungkainya kemudian berhenti berjalan persis di dekat Seilhwan yang tak kunjung menyadari eksistensinya sebab atensi wanita itu terlampau fokus memandang layar ponsel yang berada di genggaman tangan.

Jadi tatkala Jimin serta-merta bertanya dengan heran, "Wow, Seilhwan. Ini mainan punya siapa?" —perempuan yang tadi sedang sibuk memainkan ponsel sembari rebahan di atas sofa hampir terkena serangan ginjal.

Eh salah, serangan jantung maksudnya.

"Ya Tuhan. Astaga," pekik Seilhwan kaget. Seketika mengelus dada dan buru-buru menoleh ke arah sang suami yang tengah bertumpu persis di belakang, menyahut, "Jimin, kau mengagetkanku."

Menjumpai ekspresi si wanita yang seperti itu, Jimin tertentang tak acuh. Dia malah kembali mengulangi pertanyaan yang sama pada sepersekon kemudian, "Ini." Jari milik si pria lantas tertunjuk ke arah konfigurasi rumah boneka barbie dream house yang berlantai tiga, lengkap dengan sebuah mobil-mobilan serta kurang lebih sepuluh barbie di dalamnya. "Punya siapa, Hwan?"

"Oh. Itu milikku," tanggap Seilhwan kalem, tersenyum manis. Dia kemudian beranjak dari posisi, mendudukkan diri dan kembali menyentuh layar ponsel dengan santai sementara Jimin tampak serupa bocah lelaki yang akan disunat—terkesiap setengah mati. Belum sempat mendengar sahutan sang suami lagi, perempuan tersebut lantas meneruskan, "Kenapa memangnya?"

Jimin memandang tak percaya. Netranya menyipit, kening ikut mengerut, lantas kedua labiumnya berujar tak habis pikir, "Serius, Hwan? Kau yang membeli mainan ini?"

Wanita itu arkian menaikkan satu alis. "Ya menurut ngana?"

"Tapi—untuk apa? Astaga. Kau ini 'kan sudah besar. Bahkan sekarang sudah menjadi istri orang. Kita juga 'kan tidak pernah berniat untuk mempunyai anak. Jadi kenapa kau membelinya?"

Seilhwan dapat merasakan kedua telinganya perlahan memanas selepas mendengar ocehan Jimin tadi. "Ya memangnya kenapa sihhhh? Memangnya yang boleh bermain rumah barbie-barbie-an seperti ini cuma anak kecil? Aku 'kan juga ingin main. Bosan soalnya. Selagi aku masih punya banyak uang untuk membeli mainan semacam ini untuk mengatasi kebosanan yang semakin menjadi-jadi ya kenapa tidak, Jim?"

Astaga. Perempuan ini benar-benar luar biasa. Jimin jadi ingin bertepuk tangan sekarang juga.

"Tapi alasanku memberi sejumlah uang bulanan padamu melalui rekening jelas bukan untuk membeli hal semacam ini, Hwan," ujar pria itu sesaat kemudian. Dia kemudian ikut menyusul duduk di sofa, mengambil lalu meminum segelas es kopi yang berada di permukaan meja tanpa izin dan kembali berkata, "Kau baru saja membuang-buang uang dengan membeli barang tak berguna."

Sesaat di sana, Seilhwan memandang tak terima. "Eh, itu 'kan kopi milikku!" Menjumpai Jimin yang tidak terlalu acuh dengan perkataannya, dia lantas mengembuskan napas sabar, melipat kedua tangan di depan dada dan berkata, "Tapi 'kan, uang suami itu uang istri juga, Jim. Terserah aku dong mau menggunakan uangmu yang sudah menjadi milikku untuk apa. Lagi pula membeli rumah boneka barbie seharga 600.000 won tidak akan membuatmu jatuh miskin, 'kan?"

"Seharga 600.000 won—oh, shit. Hwan, apa katamu barusan?" Lelaki tersebut seketika berhenti minum—nyaris tersedak kemudian memandang si lawan bicara tak habis pikir. "Kau menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk membeli mainan seperti ini?"

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang