28. Let It Go

1.1K 136 108
                                    

Mengapa terkadang kesedihan sanggup terbit sekaligus terbenam dalam waktu yang begitu cepat?

Park Seilhwan absolut belum memahami—dia bahkan tidak mengerti sama sekali. Tidak mengerti mengapa momen terendah dalam hidup seakan suka sekali datang tanpa diundang kemudian pergi tanpa diantar bahkan sebelum perempuan itu mengucapkan selamat tinggal. Hidup seolah kerap memainkan perasaannya dengan cara memberi harapan sekaligus keputusasaan yang mutlak dalam satu waktu diiringi jeda yang begitu singkat, membuat Seilhwan pada akhirnya kembali menjumpai dirinya perlahan hancur menjadi serpihan debu yang beterbangan jauh di atas pantai yang kesepian.

Banyak mulut yang berujar bahwa pasti ada saatnya di mana manusia akan menuai apa yang pernah mereka tabur di atas tanaman kehidupan. Hukum karma itu nyata, katanya. Roda hidup pasti senantiasa berputar dan apa yang pernah manusia lakukan itu suatu hari akan kembali pada diri mereka sendiri sebab karma itu memang selalu ada. Iya, Seilhwan tentu pernah mempercayai perkataan semacam itu. Well, dia bahkan sempat meyakini bahwa rasa sakit yang dia alami sampai sekarang barangkali merupakan manifestasi nyata dari karma yang dia dapat atas perbuatan buruknya di masa lampau. Tetapi lama-kelamaan perempuan tersebut menyadari bahwa ternyata tidak selamanya cobaan yang dia alami sampai kini adalah bentuk nyata dari hukum perbuatan. Seilhwan sadar, dia sudah amat menyadari bahwa bukankah sejak kecil saja dia telah terbiasa menerima luka bahkan sebelum wanita itu melakukan dosa besar yang sanggup membuatnya dilempar ke dalam neraka oleh malaikat kematian?

Ck, masa bodoh, deh. Mungkin tujuan Tuhan memberinya nyawa untuk hidup memang hanya untuk itu. Iya, untuk senantiasa menerima rasa sakit bahkan sampai mulutnya berbusa nanti lalu mati mengenaskan begitu saja di kamar mandi.

"Hwan? Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Seilhwan seketika menahan napas.

Perempuan tersebut arkian buru-buru membangkitkan kesadaran kembali ke permukaan, menjatuhkan atensinya pada sosok pria yang sedang duduk di depan layar komputer—kacamata bulat yang menggantung di depan penglihatan, menggenggam beberapa kertas yang Seilhwan jelas tidak tahu isinya apa serta menjumpai surai silver Jimin yang sedikit berantakan. Ah, benar. Seilhwan tentu punya alasan mengapa pada akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri pria itu di ruang kerja pribadinya. Jadi di sana, memandang eksistensi sang istri yang terasa cukup mengejutkan, selepas memalingkan wajah dari banyak tulisan yang lumayan memuakkan, Park Jimin mengerutkan kening—kemudian kembali bertanya heran, "Seilhwan? Hei? Kenapa malah melamun? Aku sedang bertanya padamu, lho. Kenapa tiba-tiba ke sini?"

Sang lawan bicara sekonyong-konyong mengerjap, tersenyum gugup. "E-eh, Jim? Oh, ini—" ujarnya terputus-putus. Seilhwan mengeratkan genggamannya pada segelas jus yang sedang dia bawa, sekaligus tengah berupaya mendamaikan degup jantung yang entah mengapa serta-merta bergerak jauh lebih cepat—berusaha tidak menunjukkan kegelisahannya tatkala segera menjawab, "Kau suka jus mangga?"

"Eh?"

"Eh—apaan?"

Jimin mendadak menggeleng pelan. "Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja aku bingung kenapa tumben sekali kau bersikap seperti ini."

Seilhwan melebarkan penglihatan. Kedua pipi wanita tersebut yang seketika tertentang sedikit merona ikut bergetar pelan ketika dia perlahan kembali bergerak, serta bibirnya yang mengerucut kala merespons dengan setengah galak, "Dih? Aku 'kan cuma ingin membuatkanmu jus mangga. Memangnya aneh, ya? Dibaikin kok malah begitu, sih?"

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang