Seilhwan terkena demam.
Siang tadi, Jimin sempat mendeteksi adanya suhu kelewat panas yang menyerang tubuh wanita itu ketika sang suami baru saja membopong Seilhwan ke kamar selepas perempuan tersebut jatuh pingsan di dekat pintu utama. Jimin tentu bertambah panik, terlampau kelesah. Rasanya semacam ada sesuatu di dalam diri yang mengatakan bahwa dia tidak suka melihat Seilhwan sakit seperti itu. Rasanya menyakitkan—entah mengapa. Wajah Seilhwan yang tertentang begitu pilu, pandangan kelabunya yang mengkhawatirkan, semuanya. Sakit. Sakit sekali. Lantaran Jimin absolut lebih menyukai sosok Seilhwan yang sekala bersikap ceria ataupun sok galak padanya ketimbang menjumpai kondisi si wanita yang tertidur dengan begitu lemah di atas ranjang semacam ini, kendati lelaki itu sebetulnya tahu bahwa perilaku bahagia yang acap sang istri tunjukkan hanyalah merupakan lapisan topeng yang berperan untuk menyembunyikan lautan air mata yang barangkali nyalar ditahan untuk jangan sampai keluar membasahi kedua pipi.
Tuhan, kenapa aku jadi secemas ini?
Benar-benar aneh, Jimin merasa dia serupa tengah menghadapi Seulgi atau Miki yang sedang terserang demam—rasanya sungguh khawatir sekali padahal kini dia tengah merawat Seilhwan yang bahkan hanya menempati posisi seorang kenalan biasa di hatinya. Menyiapkan segelas air hangat bersama semangkuk bubur yang akan diletakkan di atas nampan, pria itu kemudian merasakan dadanya yang seketika berdetak dengan tempo yang lebih cepat tatkala kedua tungkainya mulai melangkah menuju kamar untuk menemui sang istri yang sedang tertidur lelap. Cakrawala malam betul-betul sudah memayungi permukaan buana sepenuhnya. Situasi juga masih terasa sepi seperti biasanya, tidak peduli walau pagi sudah menjelang maupun langit kelam masih membentang sebab posisi kediaman mereka terletak cukup jauh dari rumah para tetangga. Kendati kondisinya memang tertangkap lengang, Jimin yakin bahwa mendadak terdapat bunyi tangisan yang samar-samar terdengar; suara wanita, juga racauan pelan yang berasal dari dua belah bibir seseorang yang entah siapa. Siapa itu? Hantu?
Mempercepat langkah kemudian buru-buru membuka pintu kamar, Jimin sungguh tidak dapat mencerna jelas tentang apa yang sedang terjadi di sini. Istrinya ternyata sudah bangun? Tetapi mengapa Seilhwan langsung meringkuk sembari menangis kecil begitu di atas tempat tidur? Lelaki tersebut arkian melebarkan matanya. Apa lagi ini?
"Seilhwan! Kau kenapa?" tanya Jimin panik seraya buru-buru menempatkan nampan yang dia bawa ke atas meja yang berada di samping ranjang. Pria itu kemudian langsung menghampiri Seilhwan yang tengah sesegukan di sana.
Sial, kini peristiwa sialan macam apa lagi ini yang harus dihadapi Jimin?
"Jimin, Jimin, aku mau mati," gumam si perempuan kemudian tanpa mendongakkan kepala. Seilhwan betul-betul tidak memedulikan presensi sang suami yang tengah berusaha untuk menggenggam tangannya untuk memberi ketenangan—wanita itu malah tahu-tahu menarik surai pendeknya dengan ekspresi frustasi setengah mati pada sepersekon kemudian. Mendeteksi suara-suara aneh yang berteriak di kepalanya jadi membuat Seilhwan merasa begitu terusik dan dia langsung menyambungkan pasrah, "Sial, sial. Aku mau mati, mereka terus-menerus menyuruhku mati, tapi bagaimana caranya? Aku bingung, Jim! Hiks, tolong .... "
Menemukan keadaan si perempuan yang baru kali ini kelihatan terlampau berantakan, Jimin arkian merasakan kerongkongannya tiba-tiba tercekat. Keningnya mengerut gelisah. Dia hanya mengerjap, mencoba untuk kembali menggenggam kedua lengan Seilhwan bersama vokal setengah tinggi, "Seilhwan, berhenti! Apa yang sedang kau bicarakan? Kau tidak boleh mati! Tolong jangan berpikiran seperti itu. Tuhan, kau ini sebenarnya kenapa?"
Seilhwan lalu menyahut tak kalah tinggi, "Aku tidak pantas hidup, Jim!"
"Siapa bilang?"
"Aku!" Perempuan tersebut serta-merta mendongak—memandang dingin bersama kedua netra yang sudah membengkak serta cairan mata yang tak kunjung berhenti mengalir sebelum jari-jemarinya kembali menjambak rambutnya sendiri dengan kuat, kemudian juga memukuli kepalanya dengan keras. Dia—benar-benar seperti orang tak waras.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Panasea ㅡ P.jm
FanfictionIm Seilhwan jelas tidak pernah berharap andaikata presensinya bisa diberi atensi oleh sang suami pada suatu saat nanti. Dia bahkan sekala berpikir kalau sebetulnya mereka tidak pernah layak untuk menjadi sepasang suami istri. ⚠️ TRIGGER WARNING: ME...