22. Sleeping Sorrows

1.1K 148 190
                                    

Kini jarum pendek sudah benar-benar menghampiri angka dua. Waktu betul-betul telah melewati pertengahan hari dan Seilhwan sekonyong-konyong menghela napas setelah berhasil mengambil beberapa barang dari kamar—tanpa dipergoki kedua saudaranya yang barangkali tengah berada di ruangan mereka masing-masing sonder menyadari eksistensi Seilhwan yang baru saja pulang tanpa undangan dan salam.

Kendati wanita itu serta-merta merasa agak konyol kala sempat berusaha masuk ke rumahnya sendiri dengan hati-hati serupa maling yang ingin mencuri barang di kediaman orang lain, sebab dia benar-benar tak ingin siapapun mendeteksi kehadirannya di rumah ini.

Rumahnya tertentang lengang, agaknya cuma lampu ruang tamu yang dibiarkan menyala sia-sia pada siang hari ini dan samar-samar dia mendadak dapat menangkap suara Heejin—adik perempuannya yang semacam tengah melangsungkan percakapan dengan seseorang di dalam kamarnya. Gadis itu pasti sedang menelepon temannya di dalam sana. Entah dengan siapa lantaran Seilhwan tidak peduli mengenai itu. Semakin waspada dalam melakukan pergerakan karena Seilhwan tidak ingin ditemukan oleh kedua saudaranya, wanita itu lantas menghela napas tatkala baru menutup pintu kamar dan bergegas menuju akses depan dengan langkah perlahan kemudian pergi dari sana dengan sehening mungkin.

"Kak Seilhwan?" Seseorang serta-merta memanggil namanya dari belakang. Itu Heejin—adiknya.

Seilhwan dapat merasakan pipinya memanas. Dia langsung menghentikan pergerakan secara tiba-tiba sebelum berhasil membuka pintu untuk kembali lenyap dari tempat ini. Sial. "Oh. Heejin?"

"Apa yang sedang Kakak lakukan di sini?" Gadis itu membatu sejemang, mengamati gerak-gerik aneh dari sang kakak sedangkan Seilhwan sontak kaku di tempat. Heejin arkian mengerutkan kening pada saat setelahnya. "Kenapa Kakak bertingkah seperti pencuri begitu? Lagi pula sejak kapan Kakak berada di sini?"

"Ya. Kenapa kau berisik sekali? Rumah ini masih milikku, 'kan? Apa pedulimu, heh?"

"Ah, aku tahu. Kakak takut Kak Jungkook menyadari eksistensimu, ya?"

"Sialan—"

"Jangan mengumpat padaku seperti itu jika tidak ingin mendengarku berteriak memanggil Kak Jungkook sekarang juga." Heejin kembali berkata kalem. Dia menarik salah satu sudut bibir dengan satu kekehan licik kala meneruskan, "Kau betul-betul harus bersikap baik padaku kalau tidak ingin dihabisi oleh Kak Jungkook, Kak."

Nyenyenye.

Ugh. Seilhwan jadi gregetan ingin melempar sepatunya ke wajah adiknya sendiri sekarang juga, barangkali sanggup membuat gadis itu terdiam beberapa saat lantas membiarkannya serta-merta kembali pergi dari sana. Merasakan emosinya sekonyong-konyong mengalir cepat ke setiap peredaran darah sementara Heejin sedang tersenyum tipis bersama penglihatan sinis, pada realitasnya Seilhwan cuma mampu menghela napas sabar—untuk yang kesekian kali. Sebab bisa sungguhan habis dia andaikata Heejin benar-benar memanggil Jungkook di sini. Seilhwan tidak ingin menjadi korban percobaan pembunuhan dari kakaknya sendiri lagi, tolong.

Masih berusaha mempertahankan kesabaran sedangkan Heejin serta-merta melipat kedua tangan di depan dada—bertingkah dengan begitu menyebalkan persis di depan mata, Seilhwan mau tidak mau harus mengurung niatnya untuk sementara. Dia harus menanggapi tindakan sang adik dengan pura-pura baik kalau tidak ingin mati muda, iya. Walakin tatkala baru menyadari mengapa bisa Heejin berada di rumah pada hari Jum'at begini, Seilhwan jadi tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Apa ini? Kenapa kau juga ada di sini, coba? Bolos sekolah, ya?"

Heejin sedikit melebarkan penglihatan, sedikit terkesiap. "Apa? Itu 'kan bukan urusan Kakak."

Seilhwan serta-merta ikut mengulum senyum miring, merasa sedikit lega sebab kini mereka barangkali telah memiliki skor yang sama dalam berkompetisi—saling berusaha untuk menjatuhkan satu sama lain dengan tindakan sekalem mungkin kendati hal tersebut nyatanya bisa memberikan dampak yang cukup buruk bagi salah satu pihak. Tentu saja. Lantaran Seilhwan memang tidak pernah memiliki relasi yang baik terhadap kedua saudaranya dan itu jelas merupakan sebuah perihal buruk bagi eksistensinya dalam keluarga.

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang